Pengamat Desak Pengesahan UU Perampasan Aset

Pengamat Desak Pengesahan UU Perampasan Aset

Riaumandiri.co - Korupsi di Indonesia sudah menggurita, hal ini dibuktikan dengan terungkapnya berbagai kasus mega korupsi, dari PT Pertamina hingga PT Antam yang baru baru ini menjadi perbincangan publik. 


Korupsi PT Pertamina  senilai Rp 193 triliun ditambah teranyar ada korupsi PT Antam senilai Rp 3,3 triliun menambah daftar panjang kasus kasus korupsi di Indonesia. 



Hal ini tentu perlu adanya suatu upaya untuk membuat deterrence efek atau efek jera kepada para pelakunya. 


Pengamat Hukum Tata Negara (HTN), Zulwisman mendesak pemerintah agar segera mengesahkan UU Perampasan Aset, Rabu (12/3).


UU ini dinilai mampu memiskinkan para pelaku koruptor, memiskinkan koruptor menurutnya dapat memberikan efek jera kepada para pelaku. 


Selama ini, hukuman penjara dinilai tidak cukup memberi efek jera dan bukan merupakan hal yang ditakutkan oleh para pejabat negeri ini. 


"Realitas yang kita dapatkan hari ini, pidana penjara tidak memberikan efek jera, dan maka memang penerapan sanksi pidana berupa memiskinkan koruptor hingga sanksi hukuman mati harus diberlakukan," katanya. 


"Di sisi lain RUU perampasan aset semakin urgent untuk disahkan jadi UU, karena dengan lembaga dan norma yang ada hari ini belum memberikan efek jera bagi pelaku dan peringatan bagi pejabat dan setiap orang," sambungnya. 


Rencana implementasi mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan melalui pengesahan RUU Perampasan Aset di Indonesia bukan hal yang mudah.


Instrumen RUU Perampasan Aset sebagai langkah strategis untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus yang pelaku sulit dijerat melalui proses hukum pidana konvensional.


Untuk itu, ia mengatakan RUU Perampasan Aset sangat penting sebagai rancangan regulasi khusus untuk NCB yang terpisah dari kerangka hukum pidana seperti UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).


Apabila mekanisme NCB digabungkan dengan UU Tipikor, dirinya berpendapat akan ada potensi terjadinya tumpang tindih yang kemungkinan menghambat implementasi NCB.


Opsi hukuman mati juga dinilai tepat untuk diterapkan, karena negara Indonesia tidak menghapuskan hukuman mati sebagai sanksi pidana terberat. 


Hal ini juga berkaca pada negara yang telah menetapkan hukuman mati pada koruptor, diantaranya Korea Utara. 


"Di beberapa negara di dunia sudah menerapkan hukuman ini, hukuman mati bagi koruptor di Korea Utara itu efektif," kata Zulwisman. 


"Begitu pula dengan sanksi memiskinkan, pejabat dan setiap orang akan berfikir berkali kali untuk melakukan korupsi," lanjutnya. 


Tak hanya Korea Utara, Jika melihat negara lain misalnya China, Corruption Perceptions Index (CPI) 2020 mereka jauh lebih baik dari Indonesia. Negara Tirai Bambu tersebut menempati peringkat 78 dari 181 negara dengan skor CPI 42 dari 100 nilai tertinggi. Berbanding terbalik dengan China, CPI Indonesia terus mengalami penurunan dari skor 40 menjadi 37 pada 2020.


Penerapan hukuman mati di China tidak semata-mata hanya karena penegakan hukuman bagi koruptor. Akan tetapi hal itu juga dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas politik internasional China yang merosot akibat praktik korupsi di pemerintahannya.


Bahkan, di negara tersebut hukuman mati menjadi alat untuk meredam konstelasi serta ketegangan antarelite di politbiro yang kemudian menjadikan isu korupsi dan hukuman mati sebagai salah satu alat untuk menjatuhkan elite lain.


Upaya pemberantasan korupsi menurutnya harus disikapi serius oleh lembaga negara yang berwenang, diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. 


"Ada tiga lembaga, kepolisian, kejaksaan, dan KPK yang punya tiga kewenangan, yakninya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hingga vonis berat yang sebisa mungkin dijatuhkan hakim di pengadilan," ujarnya.



Berita Lainnya