Lakukan Pengawasan di Bidang Perkebunan, Komite II DPD RI Kunjungi NTT

Lakukan Pengawasan di Bidang Perkebunan, Komite II DPD RI Kunjungi NTT

RIAUMANDIRI.CO – Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Dalam melaksanakan pengawasan terhadap undang-undang tersebut, Komite II DPD RI melaksanakan kunjungan kerja untuk bertemu dengan sejumlah kementerian dan lembaga (K/L), Senin (03/03) di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Komite II DPD RI melaksanakan kunjungan kerja pengawasan undang-undang tentang perkebunan di Kantor Gubernur NTT, Kota Kupang, Provinsi NTT yang dihadiri oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTT beserta jajaran pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT; perwakilan pemerintah kabupaten/kota di NTT; Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian beserta jajaran pejabat Kementerian Pertanian; dan sejumlah rektor dan direktur perguruan tinggi di NTT.

Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena, S.Si., Apt. mengawali rapat kunjungan kerja pengawasan undang-undang tentang perkebunan ini dengan memberikan sambutan. Dalam sambutannya, Emanuel menjelaskan bahwa sektor perkebunan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian NTT. Meskipun demikian, adopsi teknologi pertanian terkini diperlukan untuk dapat meningkatkan produktivitas sektor perkebunan di NTT.

“Saya mengharapkan budidaya perkebunan yang dilakukan dapat mengadopsi teknologi perkebunan terkini agar bisa menerapkan good practice dalam pengelolaan sektor perkebunan (di NTT)”, jelas Emanuel.

Selain peningkatan produktivitas, hilirisasi pada komoditas sektor perkebunan juga disorot oleh Gubernur NTT tersebut. “Peran kelompok petani perlu ditingkatkan. Tidak hanya mengelola perkebunan, tetapi juga hilirisasinya (pada komoditas perkebunan yang dikelola)”, tambah Emanuel.

Dalam sambutannya, Angelius Wake Kako, S.Pd., M.Si. selaku Senator asal NTT dan Wakil Ketua Komite II DPD RI menyoroti bahwa pengelolaan sektor perkebunan di NTT bersifat unik karena adanya perbedaan pada cara pengelolaannya dibandingkan dengan Indonesia secara umum. “Pengelolaan sektor perkebunan di Indonesia seringkali orientasinya adalah korporasi. Berbeda dengan orientasi tersebut, NTT didominasi oleh perkebunan rakyat dalam pengelolaan sektor perkebunannya,” ujarnya.

Senator asal NTT tersebut juga menyinggung bahwa pengelolaan sektor perkebunan di NTT belum berorientasi pada peningkatan nilai tambah. “Dalam temuan kami, masih ada sekian besar produk perkebunan yang ke luar (diekspor) dari NTT masih berbentuk barang mentah”, tambahnya.

Angelius menyerukan untuk mendorong hilirisasi pada sektor perkebunan di NTT agar ekspor komoditas perkebunan NTT memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.

Dalam sesi pemaparannya, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) NTT menyampaikan bahwa DPKP telah melakukan pemetaan wilayah untuk potensi komoditas perkebunan unggulan di NTT. “Kami telah melakukan pemetaan wilayah untuk potensi komoditas perkebunan unggulan di NTT, yaitu kopi, kakao, dan komoditas unggulan lainnya”, ucapnya.

Kepala DPKP menjelaskan bahwa terdapat sejumlah permasalahan yang menghambat pertumbuhan sektor perkebunan di NTT, diantaranya adalah faktor usia tanaman yang sudah tua, pengelolaan lahan perkebunan yang tidak intensif dan cenderung bergantung pada alam, dan minimnya ketertarikan generasi muda untuk masuk ke sektor perkebunan. Oleh karena itu, solusi atas permasalahan tersebut sangat diperlukan guna mendorong pertumbuhan sektor perkebunan di NTT.

Berbeda dengan komoditas perkebunan yang menjadi perhatian utama pemerintah pusat, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) NTT menjelaskan bahwa di NTT tidak terdapat perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kemiri merupakan perkebunan terbesar di NTT. “Kelapa sawit, yang menjadi perhatian sekarang di Indonesia, justru tidak ada di NTT. Yang paling tinggi di sini (di NTT) adalah kemiri”, jelasnya.

Terkait tanah ulayat, Kepala BPN NTT menjelaskan bahwa hak ulayat atas lahan baru ada apabila adanya pengakuan dari pemerintah daerah setempat terhadap kehadiran masyarakat di daerah tersebut.

“Masyarakat adat harus ada dulu sebelum ada hak ulayat, karena hak ulayat adalah hak yang dimiliki masyarakat adat atas tanah. Tidak bisa ada pengakuan adanya hak ulayat kalau masyarakat adatnya belum ada pengakuan dari pemerintah setempat,” ujarnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi lahan adat di suatu daerah ditetapkan oleh adanya pengakuan oleh pemerintah daerah terhadap eksistensi masyarakat adat di daerah tersebut sehingga pemberian izin usaha perkebunan di daerah tersebut dapat dilakukan dengan menghindari terjadinya persinggungan antara lahan adat dan lahan yang dapat dikelola oleh pelaku usaha perkebunan.

Para Anggota Komite II DPD RI turut menyampaikan pertanyaan, tanggapan, dan masukannya dalam sesi diskusi acara ini.

Senator asal NTT sekaligus Wakil Ketua Komite II DPD RI Angelius Wake Kako, S.Pd., M.Si. berpandangan bahwa perlu dilakukan redefinisi terhadap istilah hilirisasi agar petani di sektor perkebunan memahami makna hilirisasi dan mengurangi tendensi untuk menjual hasil perkebunannya dalam bentuk komoditas mentah.

“Hilirisasi adalah proses perubahan bentuk dari suatu komoditas (dari barang mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi). Misalnya kelapa, kelapa segar dapat diambil airnya dan dagingnya. Selain langsung dikonsumsi, kelapa bisa dijadikan produk-produk lain yang berbahan dasar kelapa”, jelasnya.

Senator asal Maluku Utara Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. menyampaikan pertanyaan mengenai bagaimana strategi penanganan konflik lahan di NTT dari sisi agraria dan tata ruang. Hal ini berhubungan dengan perlunya dilakukan pemetaan lahan. “saya sangat concern dengan pemetaan lahan karena dalam memeroleh sertifikat tanah itu tidak mudah,” ucapnya.

Kepala BPN NTT menjawab pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bahwa BPN NTT memiliki bidang khusus untuk menangani sengketa lahan. “BPN berperan sebagai mediator antara pihak yang berkonflik. Beginilah cara NTT menangani konflik lahan. Penanganan dilakukan melalui jalur hukum”, jelas Kepala BPN NTT.

Senator asal Bali Ni Luh Putu Ary Djelantik menyoroti adanya keterkaitan antara sektor perkebunan dan sektor pariwisata dari sisi pertanahan. “Keterkaitan antara pertanahan dan perkebunan sangat relevan dengan sektor pariwisata. Saya berpesan agar pengeluaran izin pertanahan di NTT dapat memerhatikan hak lahan penduduk lokal. Belajarlah dari kasus yang terjadi di Bali. Jangan sampai kasus pertanahan yang terjadi di Bali terjadi juga di NTT,” ujarnya.

Kunjungan kerja pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tentang perkebunan di Kota Kupang, NTT ini juga turut dihadiri oleh Wakil Ketua III Komite II DPD RI La Ode Umar Bonte, S.H., M.H. dan sejumlah Anggota Komite II DPD RI, yaitu Azhari Cage, S.I.P. (Aceh), Ir. H. Ria Saptarika, M.Eng. (Kepulauan Riau), Hj. Happy Djarot (Daerah Khusus Jakarta), Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. (D.I. Yogyakarta), Habib Said Abdurrahman (Kalimantan Tengah), Dr. Yulianus Henock Sumual, S.H., M.Si. (Kalimantan Timur), Febriyanthi Hongkiriwang, S.Si., Apt. (Sulawesi Tengah), Lalita, S.H., M.H. (Papua), Sularso, S.E. (Papua Selatan), Agustinus R. Kambuaya, S.I.P., S.H. (Papua Barat Daya), dan Matias Heluka, S.H., M.H. (Papua Pegunungan). (*)



Tags DPD RI