Penghulu Dayun Tolak Selesaikan
SIAK (HR) - Penghulu Dayun, Kecamatan Dayun, Nasya Nungkrik menyampaikan tak mau lagi mengurusi kasus ganti rugi yang belum diselesaikan PT Nusa Prima Manunggal kepada masyarakat petani yang tergabung pada kelompok tani koperasi Tunas Harapan.
"Perusahaan bukan tidak membayar ganti rugi lahan masyarakat dalam kelompok tani, hanya saja belum menyelesaikan keseluruhannya," ujar Nasya, Rabu (27/5) ketika dihubungi via telepon selulernya.
Adapun persoalan kenapa ia tidak mau mengurusi hal itu, kata Penghulu, disebabkan keberadaan lokasi lahan secara administrasi berada di Desa Delik, Kabupaten Pelalawan. "Secara administrasi kita tidak bisa terlalu jauh mencampurinya, karena lahan itu berada di Kabupaten Pelalawan," katanya.
Lanjut Nasya, luas lahan yang dipersoalkan terjadi sebelum ia menjabat. Pada saat ada perhitungan luas lahan yang salah dengan cara manual dan perkiraan.
"Memang sebelumnya diperkirakan luas lahan seluas 500 hektare, namun setelah diukur, ternyata luasnya hanya 300 hektare," kata Penghulu. Ketika disinggung Pemerintahan Kampung Dayun telah memberikan kuasa terhadap yang mengaku nama Andi, Penghulu Nasya membantah keras.
"Memang kemarin sore saya ditelepon saudara Andi, meminta supaya dibuatkan surat kuasa dari Pemerintahan Kampung Dayun. Secara tegas saya tolak, karena dulu Kades sebelumnya telah memberikan kuasa, namun saat ini kan Penghulunya saya," kata Nungkrik.
Uang ganti rugi yang akan diberikan, tambahnya, memang untuk masyarakat. "Kalau ada masyarakat di luar warga Melayu Kampung Dayun memang tidak memiliki hak mendapatkan uang ganti rugi itu," katanya.
Dijelaskan penghulu, warga Kampung Dayun memiliki lahan berada di Kabupaten Pelalawan karena sebelumnya Kampung Dayun memiliki luas sampai ke perbatasan Desa Delik. "Wajar saja warga Kampung Dayun khsususnya Melayu memiliki Lahan di sana, karena merupakan satu rumpun wilayah," katanya.
Sementara itu di tempat terpisah, Ketua DPD Pemantau Pembangunan Infrastruktur Riau (PPIR) Kabupaten Siak, Ahmad Emsah Ginting menuding saat ini terjadi saling lempar antara pihak Pemerintahan Desa dengan Koperasi.
"Bagaimana bisa lahan yang diganti rugi tidak diketahui oleh Pemerintahan Desa," ujarnya. Ada dugaan uang ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
"Sebelumnya hanya kompensasi HTR saja, dan bukan ganti rugi lahan," kata Emsah. Ditambahkannya kalau memang ada transaksi ganti rugi lahan harusnya Kelompok tani dan masyarakat memberikan surat kuasa.
"Saat ini masyarakat belum pernah memberikan surat kuasa kepada pihak lain baik itu ke Pemerintah Kampung maupun Koperasi," tukas Emsah.
Sementara itu informasi yang dirangkum di lapangan, lahan dengan luas 300 hektare itu diganti rugi dengan harga yang cukup tinggi, diperkirakan sekitar Rp50 juta per kapling.(gin)