TLH Walhi Riau 2025: Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu

TLH Walhi Riau 2025: Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu

Riaumandiri.co Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau kembali meluncurkan Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) Tahun 2025 , Kamis (23/1) sore di Rumah Rakyat WALHI Riau. 

Dalam catatan TLH, Tak berbeda jauh dengan rezim sebelumnya, perubahan kepemimpinan hasil Pemilu dan Pemilukada 2024 hanya memperpanjang kuasa oligarki. Membawa rakyat dalam situasi krisis yang tak berkesudahan. 

Publikasi tahunan WALHI Riau yang bertajuk “Memutus Konflik Ekologis di Tanah Melayu: Sebuah Tawaran Kepada Rezim Baru” memotret kondisi tersebut, khususnya di Riau. Publikasi ini hadir untuk membunyikan seruan dan tuntutan keadilan untuk memutus mata rantai konflik ekologis. 


Konflik yang tidak hanya menempatkan rakyat yang lemah dan termarginalkan sebagai korban, namun seluruh entitas ekologis lainnya, baik hidup maupun tak hidup.

Situasi lingkungan hidup yang sarat konflik di tahun politik 2024, menunjukkan kita masih berada di situasi genting. Konflik ekologis di Riau terjadi hampir di semua sektor—kehutanan, perkebunan, pesisir, laut, pulau kecil, dan perkotaan. Karenanya, tidak cukup menitipkan pesan tuntutan keadilan ekologis hanya kepada Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih. Bupati/Walikota di dua belas kabupaten dan kota di Riau juga harus dipaksa untuk mengusung pesan tersebut dalam rencana prioritasnya.

Di tataran nasional, berbagai kebijakan kontroversial ala rezim baru, seperti akselerasi luas perkebunan kelapa sawit dan rencana pembukaan 20 juta hektar hutan tentu juga akan berpengaruh terhadap Riau. Memperparah situasi lingkungan hidup dan hutan Riau. Tak terkecuali Kepulauan Riau yang tengah dikepung macam-macam PSN. Setidaknya ada enam PSN yang siap mengubah bentang alam kepulauan Riau serta mempersempit ruang hidup rakyat demi keberlanjutan investasi. Sebuah harga yang tak sebanding dengan derita yang hadir.

Perwakilan Perempuan dari WALHI Riau, Sri Depi Surya Azizah memaparkan berdasarkan analisis spasial,  tahun 2023 hingga 2024 terjadi aktivitas perkebunan kelapa sawit dengan deforestasi hutan seluas 828 hektar di tiga daerah, yakninya Dumai, Bengkalis dan Rokan Hilir (Rohil). 

"Deforestasi ini persoalan polemil Riau dari tahun 1983, dan kerusakan hutan akibat diterbitkan perizinan sektor kehutanan, kemudian tak lama perkebunan kelapa sawit dalam skala besar menjadi penyebab deforestasi Riau," katanya. 

Tak hanya kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI) turut menyumbang adanya deforestasi dan mengubah hutan alam. 

Dalam paparannya, Depi menjelaskan sekitar 59,3 persen lahan sudah dialihfungsikan, bahkan ia menyebut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, sisa hutan alam Indonesia sekitar 96 juta hektar. 

"Tingginya angka deforestasi, kami melihat menjadi pemicu bencana ekologis, seperti banjir langganan setiap tahunnya," kata Depi. 

Akibat dari bencana banjir tersebut, sekitar 147.000 masyarakat Rohil terdampak banyak kedua Se Riau, dan sekitar 92.000 rumah terendam. 

Kondisi pesisir di Riau juga jadi sorotan, adanya tambang pasir laut oleh PT Logomas Utama membuat resah masyarakat Rupat. 

"Meski aktivitas Logomas utama sudah dicabut, nyatanya nelayan hingga kini penghasilannya jauh sebelum adanya aktivitas pertambangan itu, kita melihat praktek-praktek penguasaan lahan yang sebabkan masyarakat terpinggirkan ruang penghidupaannya," kata Depi.

Lain sisi, di wilayah pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, tantangan yang dihadapi masyarakat berbeda namun sama seriusnya. 

Intrusi air laut telah merendam beberapa wilayah mulai dari Pulau Cawan dan Tanjung Melayu, dan mengakibatkan kebun dan rumah warga terkena dampak air asin. Intrusi ini tidak hanya merusak lahan pertanian dan kebun kelapa, tetapi juga ekosistem laut yang menjadi sumber utama penghidupan nelayan. 

Gelombang laut yang tinggi dan ekstrim telah mengurangi hasil tangkapan ikan secara signifikan, sementara salinitas tinggi dari air laut merusak tanah serta akar tanaman kelapa. Produksi kelapa yang biasanya mencapai 12.000–15.000 buah per bulan kini anjlok hingga hanya 5.000 buah. 

Menurut data dari Kajian Risiko Bencana Nasional Provinsi Riau yang disusun oleh BNPB, potensi kerugian akibat cuaca ekstrem di provinsi ini mencapai 121,11 triliun rupiah, yang terdiri dari akumulasi kerugian ekonomi dan kerugian fisik.

Menyikapi persoalan tersebut, WALHI Riau bersolidaritas bersama orang muda dan jaringan masyarakat sipil dengan melakukan beberapa aksi dan diskusi untuk menyuarakan keadilan iklim. Pada momen KTT Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-29 yang berlangsung di Azerbaijan, WALHI Riau bersama Orang Muda Riau menggelar aksi menuntut keadilan iklim dan menolak solusi palsu yang ditawarkan oleh forum KTT Iklim.

Selain menyampaikan tuntutan keadilan iklim, orang muda juga turut mengingatkan masyarakat Riau untuk bijak dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada serentak untuk memilih calon pemimpin yang menaruh isu iklim sebagai prioritas dalam penyusunan kebijakan. Seruan “Pilah, Pilih, dan Pulih” menjadi ajakan untuk memilih pemimpin yang dapat mewujudkan cita-cita keadilan ekologis lima tahun kedepan.

 Untuk melindungi pulau-pulau kecil Riau dari ancaman ekspansi perkebunan kelapa sawit maupun industri ekstraktif, WALHI Riau melakukan beberapa upaya untuk melindungi pulau kecil tersebut. Di Pulau Rupat upaya yang dilakukan dengan mendorong penetapan Kawasan Konservasi di perairan di Laut Rupat bagian utara. 

Hal ini untuk melindungi laut Pulau Rupat dari ancaman PP 26/2023 dan aktivitas tangkap yang tidak ramah lingkungan. 

Sementara Pulau Mendol yang hampir keseluruhan tanahnya merupakan tanah gambut, apabila dibebani oleh perkebunan kelapa sawit, hal ini akan menambah beban berlapis bagi Pulau Mendol. Jika terjadi kekeringan maka ia akan mudah terbakar, jika musim penghujan kelapa sawit tidak akan bisa menyerap banyak air. Selain memastikan tidak ada aktivitas yang beresiko tersebut, masyarakat juga merawat pulau dengan mengelolah tanah dengan metode alami tanpa bakar.

WALHI Riau juga menyoroti darurat sampah Kota Pekanbaru yang menjadi polemik di masyarakat. 

Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim Walhi Riau, Ahlul Fadli mengatakan sekitar hampir 1.000 ton sampah yang dihasilkan dalam satu hari, dengan adanya status darurat sampah ini, menurutnya masih menggunakan gaya lama, yakninya angkut, buang, dan pungut. 

"Analogi gaya lama, angkut, buang, dan pungut, itu tak bisa di situasi sekarang, sampah itu kita tarok bisa jadi di lahan produktif, justru ada limbah gas metana, bisa meledak otomatis, kenapa meledak? Potensi iklim kita kuat," ujarnya. 

Ditambah saat ini adanya program makan bergizi gratis, Ahlul menyoroti agar program itu bisa mencegah timbunan sampah yang diakibatkan dari plastik makan siang.

Kritikannya terhadap pemerintah adalah adanya pemaksaan sumber pangan dari luar, sedangkan negara Indonesia memiliki banyak aneka ragam pangan, diantaranya ada pertanian, tebu. 

"Pentingnya makan siang gratis ini transparansi, uang ini serapannya belum ada, Perda turunannya langsung diamvil dari Pusat, mentrigger implementasi di lapangan, bahkan ada yang keracunan," ujarnya.