Bank Indonesia memberikan kelonggaran loan to value untuk rumah pertama, kedua dan ketiga masing-mas
Masih hangat di ingatanketika putusan praperadilan dari Hakim Sarpin menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak. Saat itu berbagai kalangan banyak menilai hakim terlalu jauh mengintervensi penetapan tersangka, karena penetapan tersangka tidak termasuk dalam obyek praperadilan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP mengatur bahwa sebuah proses hukum yang dapat diajukan praperadilan yaitu menyangkut sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan.
Namun, tidak lama setelah keluarnya putusan yang menggegerkan dunia peradilan Indonesia itu, rupanya Mahkamah Konstitusi (MK) menguatkan putusan Hakim Sarpin, yaitu putusan MK yang terkait dengan materi pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia.
MK dalam putusannya mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan, yaitu menambah bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek yang dapat diajukan gugatan praperadilan.
Pertimbangan hakim MK saat itu adalah beradasarkan historical pemberlakuan KUHAP pada tahun 1981. Pada masa itu penetapan tersangka belum menjadi isu yang cukup krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada era itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun berbeda dengan masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah penetapan tersangka oleh penyidik. Penetapan ini dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga perlu diterapkan asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana. Demikian pertimbangan dari majelis hakim MK.
Salah satu kasus yang bisa kita jadikan referensi terhadap ‘kezaliman’ dari penetapan status tersangka ini adalah kasus Alfons Lemau mantan perwira polisi berpangkat Kombes yang ditetapkan sebagai tersangka karena melawan Kapolri Jendral Polisi Bimantoro. Kasus yang membawanya mendapat label sebagai seorang tersangka itu, hingga saat ini masih digantung dan belum diproses selama lebih dari 14 tahun.
Tentunya perluasan obyek dari praperadilan ini membawa konsekuensi akan timbul banyak kasus gugatan praperadilan, bukan saja bagi proses penyidikan KPK, melainkan juga di Kepolisian dan Kejaksaan.
Ada beberapa hal terkait putusan dari hakim Haswandi ini yang mendapat sorotan baik dari KPK sendiri maupun para pengamat hukum, yaitu : (1) Hakim menyatakan penyelidikan dan penyidikan batal demi hukum dan harus dihentikan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 40 UU no 30/2002 tentang KPK, dinyatakan bahwa KPK tidak berwenang melakukan penghentian penyidikan. (2) Putusan hakim melampaui permohonan pemohon (ultra-petita), yaitu Pemohon hanya memohonkan agar penyidikan tidak sah. Namun yang terjadi juga putusan hakim juga memerintahkan agar penyidikan dihentikan. (3) Hakim mempermasalahkan mekanisme perekrutan dan pengangkatan para penyidik KPK untuk menentukan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Dalam kasus Hadi Poernomo ini, memang dipermasalahkan sejumlah penyidik yang tidak memiliki latar belakang sebagai penyelidik di institusi sebelumnya, karena mereka berasal dari BPKP. Dengan mempermasalahkan hal tersebut, hakim telah mementahkan kembali berbagai penolakan putusan eksepsi yang lahir dari kasus-kasus sebelumnya, yang selalu mempertanyakan kewenangan penyelidik dan penyidik KPK.
Ini adalah ketiga kalinya KPK mengalami kekalahan dalam gugatan pra peradilan. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah KPK harus berhenti begitu saja setelah putusan praperadilan ini? Masih adakah ruang untuk upaya hukum lain?
Dalam hukum acara peradilan terhadap putusan hakim, para pihak diberi ruang untuk melakukan upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa, berupa banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.
Dalam kasus praperadilan sudah tidak dimungkinkan lagi dilakukan upaya hukum banding. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2012 yang membatalkan Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yaitu mengatur kewenangan penyidik/penuntut umum mengajukan banding atas putusan praperadilan. Sedangkan untuk upaya hukum kasasi, berdasarkan Pasal 45A UU No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA) telah ditegaskan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
Yang saat ini telah mengemuka menjadi wacana adalah, KPK harus melakukan upaya hukum luar biasa, yaitu berupa Peninjauan Kembali (PK). Beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pada PK ini adalah (1) Pertimbangan bahwa dalam putusan tersebut memperlihatkan kekhilafan hakim atau ada suatu kekeliruan yang nyata. Ini sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP), yang memungkinan dilakukannya PK. (2) Dalam PK, KPK perlu membuktikan apakah putusan hakim praperadilan sudah melampaui kewenangannya sebagai hakim praperadilan, misalnya sudah masuk pemeriksaan ranah pokok perkara, dstnya.
Di tengah kepesimisan yang muncul dari berbagi cobaan dan gempuran yang dialami oleh KPK baik dari kasus kriminalisasi para pimpinannnya, maupun putusan pra peradilan yang tidak ‘berpihak’ terhadap penanganan kasus korupsi ini, ada baiknya kita sebagai warga Negara tetap memiliki mimpi indah, agar Indonesia terbebas dari praktek korupsi yang kotor, memiliki semangat untuk selalu berpikir positif, bahwa cobaan yang dihadapi oleh KPK ini layak dijadikan pelajaran untuk meningkatkan profesionalitas para penyelidik maupun penyidik apabila suatu kasus sudah masuk tahapan pra ajudikasi. Hal ini tidak saja berlaku untuk KPK, melainkan juga profesionalisme penyelidikan dan penyidikan di instansi Kepolisian maupun Kejaksaan.
Selain itu perlu pula disadari bahwa KPK bukanlah makhluk setengah dewa, yang padanya tetap ada keniscayaan untuk sebuah ketidaksempurnaan maupun kekhilafan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa istilah seperti judul tulisan ini yaitu “Upaya Sistematis Menggulingan KPK”, mungkin tidak sepenuhnya tepat. Judul di atas yang lebih tepat adalah “Pra Peradilan: Upaya Sistematis Menguji Profesionalitas KPK”. Bagaimana, apakah anda setuju?***
Oleh: Galuh Nin Anggraini(Praktisi hukum, alumni Magister Kenotariatan UGM Yogyakarta).