Pengamat Zainul Akmal: Pemerintah Pelaku Pelanggaean HAM di Rempang
Riaumandiri.co - Pembiaran oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap Intimidasi dan kekerasan oleh petugas PT MEG kepada Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Rempang kembali terjadi Rabu, 18 Desember 2024.
Padahal pada eptember juga terjadi kekerasan. Setelah satu tahun permasalahan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City kembali memanas. September 2023, aparat gabungan TNI, Kepolisian, Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL-PP) hingga pengamanan BP Batam memaksa masuk ke perkampungan MHA. Tujuan untuk memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Pemasangan patok dilakukan di atas tanah MHA.
MHA melakukan penolakan dan terjadilah kekerasan. Gas Air Mata masuk ke Sekolah Dasar. Para siswa yang masih anak-anak menjadi korban. Ada juga upaya pengosongan Puskesmas dan pembebas tugas tenaga kesehatan di Pulau Rempang. Pemaksaan Relokasi terhadap MHA pada September 2023 mengakibatkan luka yang mendalam.
Apakah demi PSN Rempang Eco City, Negara akan melupakan kewajibannya?
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) Pasal 28I ayat (4), “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah”. Tidak terkecuali MHA di Rempang, Pemerintah harus bertanggung jawab. APH yang melakukan kekerasan mental dan fisik terhadap MHA adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Baik kekerasan disengaja atau tidak disengaja oleh APH tetap merupakan pelanggaran HAM.
Menurut Pengamat Hukum UNRI Zainul Akmal tindakan yang dilakukan APH termasuk pelanggaran HAM.
"Pembiaran terhadap suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh bukan APH juga merupakan pelanggaran HAM oleh APH. Hal ini disebabkan, seharusnya APH berkewajiban melindungi HAM, namun diam. Oleh sebab itu, tindakan pembiaran juga merupakan pelanggaran HAM," katanya.
Selain UUD, negara sudah membuat pengaturan lebih lanjut terkait HAM. Indonesia sebagai negara hukum demokrasi sudah memberikan kepastian. Berbagai peraturan perundang-undangan terkait HAM sudah ditetapkan. Seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).
Apakah sama relokasi dengan pelanggaran HAM?
Zainul menjelaskan kebijakan relokasi yang dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yang ugal-ugalan.
"Selain kategori dugaan pelanggaran HAM yang terjadi pada MHA di Rempang, patut diduga juga terjadi Pelanggaran HAM Berat. Relokasi adalah pemindahan tempat. Relokasi terhadap MHA di Rempang oleh pemerintah adalah pemidahan tempat tinggal MHA yang semula di Rempang ke tempat lain. Ditambah kebijakan relokasi ini terlihat ugal-ugalan, tanpa ada rasa kemanusiaan," katanya.
Pemerintah tidak memiliki kejelasan instrumen hukum dan instrumen faktual terkait relokasi tersebut.
Pada UU Pengadilan HAM mengkategorikan dua bentuk pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Salah satu bentuk kejahatan kemanusian adalah “pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa”.
MHA di Rempang satu tahun yang lalu (2023), tidak ubahnya di usir atau dipindahkan secara paksa. Oleh sebab itu terjadilah pristiwa September Berdarah. MHA mengalami penyiksaan dan kekerasan baik mental dan fisik. Suasana ketegangan dan mencekam menyelimuti pulau Rempang dan Galang.
Pemerintah dan MHA harus bagaimana?
Tragedi september di Rempang tidak boleh tenggelam. Pemerintah yang berwenang yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), perlu melakukan penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat di Rempang. Penyelidikan harus dilaksanakan dan Kejaksaan Republik Indonesia harus menindak lanjuti atas nama negara hukum.
Pemerintah baik pusat dan daerah yang berwenang melaksanakan PSN Rempang Eco City harus meninjau ulang dan menghentikan kebijakannya. Selaku negara demokrasi yang berketuhanan, harus mementingkan nilai-nilai kemanusian dan ketuhanan dalam membentuk dan melaksanakan kebijakan. Rakyat adalah unsur penting negara yang harus dimakmurkan dan disejahterakan. Negara harus mengingat tujuan terbentuknya suatu negara yaitu melindungi rakyatnya.
MHA harus aktif untuk mendapatkan keadilan. Upaya hukum dan bukan hukum harus dilakukan. Komunikasi dan koordinasi dengan KOMNAS HAM tidak boleh terputus. Selain itu, MHA harus berkoordinasi dengan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah harus betul-betul di awasi, agar tidak terjadi kembali hal-hal yang melanggar hukum di Rempang.