Badai Siklon Chido Terjang Wilayah Mayotte

Badai Siklon Chido Terjang Wilayah Mayotte

Riaumandiri.co - Badai yang menerjang, Mayotte, wilayah seberang laut Prancis yang terletak di Samudra Hindia, antara Madagaskar dan pantai Mozambik, diperkirakan menelan banyak korban jiwa. Mayotte merupakan bagian dari wilayah Prancis dan Uni Eropa, meskipun tidak termasuk dalam zona Schengen.

“Saya pikir pasti akan ada beberapa ratus, mungkin akan mencapai seribu, bahkan beberapa ribu,” kata pejabat pemerintah yang ditunjuk pemerintah Prancis, Francois-Xavier Bieuville di saluran media lokal Mayotte La 1ere, Senin (16/12).

Saat ditanya jumlah total korban jiwa yang tewas dalam badai yang Siklon Chido, Kementerian Dalam Negeri Prancis mengatakan masih sulit menghitung semua korban jiwa. Angkanya belum dapat ditetapkan pada tahap ini.


Badan meteorologi Prancis, Meteo-France mengatakan Siklon Chido menghantam Mayotte, Ahad (15/12) dengan kecepatan angin 200 kilometer per jam. Badai ini menghancurkan rumah-rumah, bangunan pemerintah dan satu rumah sakit. Meteo-France mengatakan Siklon Chido mungkin badai terkuat yang pernah menghantam pulau itu dalam 90 tahun lebih.

"Sejujurnya, apa yang kami alami adalah tragedi, rasanya seperti baru saja mengalami perang nuklir, saya melihat seluruh pemukiman hilang," kata salah seorang warga ibukota Mayotte, Mamoudzou, Mohamed Ishamel.

Gambar yang diambil polisi atau gendarmerie Prancis dari udara menunjukkan ratusan rumah di perbukitan salah satu pulau Mayotte, hancur. Pulau itu menjadi titik fokus imigrasi ilegal dari Komoro di dekatnya.

Mayotte terdiri dari dua pulau utama, Grande-Terre juga dikenal sebagai Maore dan Petite-Terre (juga dikenal sebagai Pamanzi, serta beberapa pulau kecil lainnya. Pulau-pulau ini dikelilingi terumbu karang yang membentuk laguna besar.

Media setempat menunjukkan gambar seorang ibu mendorong kereta bayi di koridor yang digenangi air di rumah sakit Mayotte. Perahu-perahu polisi yang terbalik tergeletak di pantai sementara pohon-pohon kelapa telah menabrak atap banyak bangunan.

"Pikiran saya bersama rekan-rekan senegara kita di Mayotte, yang telah melalui beberapa jam yang paling mengerikan, dan yang, bagi sebagian orang, telah kehilangan segalanya, kehilangan nyawa mereka," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Dalam beberapa dekade terakhir, ribuan orang dari Komoro, di lepas pantai Afrika Timur,  berupaya menyeberang ke Mayotte, yang memiliki standar hidup lebih tinggi dan akses ke sistem kesejahteraan Prancis. Menurut Kementerian Dalam Negeri Prancis, lebih dari 100.000 migran tanpa dokumen tinggal di Mayotte.

Pihak berwenang Prancis mengatakan saat ini masih sulit mengungkapkan dengan tepat total korban jiwa. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai akses masyarakat terdampak badai ke makanan, air dan sanitasi. "Untuk total korban jiwa, akan rumit, karena Mayotte merupakan tanah muslim di mana jenazah dimakamkan dalam waktu 24 jam," kata seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri Prancis.

Terletak hampir 8.000 kilometer dari Paris, Mayotte jauh lebih miskin dari wilayah Prancis lainnya. Wilayah itu juga dilanda kekerasan kelompok kriminal dan gejolak sosial selama puluhan tahun.

Tiga-perempat warga Mayotte hidup di bawah garis kemiskinan Prancis. Kelangkaan air tahun ini menambah ketegangan. Pemerintah Prancis mengatakan sedang membangun jembatan dari kepulauan Reunion yang juga wilayah Prancis di seberang Madagaskar.

Bencana ini merupakan tantangan pertama yang dihadapi Perdana Menteri Francois Bayrou, beberapa hari setelah ia ditunjuk Macron menyusul runtuhnya pemerintahan sebelumnya. Siklon Chido menghantam Mozambik pada Ahad kemarin, tapi dampaknya belum diketahui.

Di media sosial X, lembaga pemantau internet NetBlock mengatakan hujan deras dan angin kencang merusak infrastruktur listrik dan telekomunikasi. Sementara badai itu juga mengakibatkan dua orang mengalami luka ringan, 24 orang terpaksa mengungsi dan 21 rumah hancur di Komoro.  

Prancis menjajah Mayotte pada tahun 1843 dan menganeksasi seluruh kepulauan, termasuk Komoro, pada tahun 1904. Dalam referendum tahun 1974, 95 persen pemilih di kepulauan itu mendukung pemisahan tetapi 63 persen di Mayotte memilih untuk tetap menjadi bagian Prancis. Grande Komoro, Anjouan, dan Moheli mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1975. Sementara Mayotte masih diperintah oleh Paris.