Syahril Abu Bakar Kembali Dipanggil Kejati Riau
Riaumandiri.co - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau kembali melayangkan surat panggilan terhadap mantan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Riau, Syahril Abu Bakar. Dia diminta hadir untuk menjalani pemeriksaan dalam statusnya sebagai tersangka dugaan korupsi penyimpangan dana hibah di PMI Riau.
Syahril Abu Bakar sebelumnya mangkir saat dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi pada Senin (9/12) kemarin. Kendati begitu, dia tetap dijadikan tersangka dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1 miliar lebih.
Saat ini, penyidik tengah berusaha melengkapi berkas perkara pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Riau itu. Salah satunya, dengan memeriksanya dalam kapasitas sebagai tersangka.
"Sudah kita layangkan surat panggilan sebagai tersangka, langsung kemarin (pasca penetapan tersangka)," ujar Kepala Seksi (Kasi) Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas Kejati Riau, Zikrullah, Rabu (11/12).
Selain Syahril Abu Bakar, perkara ini juga menjerat seorang tersangka lainnya. Yaitu, Rambun Pamenan, mantan Bendahara Markas PMI Riau. Terhadapnya, telah dilakukan penahanan dan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Pekanbaru untuk 20 hari ke depan, sejak tanggal 9 hingga 28 Desember 2024.
"Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Zikrullah.
Zikrullah mengungkap modus korupsi yang dilakukan oleh kedua tersangka. Pada awalnya, kata Zikrullah, PMI Riau pada tahun 2019-2022 mendapat dana hibah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau berdasarkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) setiap tahunnya.
Dana hibah tersebut dipergunakan untuk mendanai program atau kegiatan PMI Riau sesuai dengan rencana penggunaan belanja hibah / proposal yang diajukan oleh PMI Riau yang kemudian dituangkan dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), dengan rincian, belanja rutin, belanja barang, biaya pemeliharaan inventaris, biaya perjalanan dinas, belanja publikasi, biaya pembinaan dan pengembangan organisasi, biaya operasional kendaraan, dan belanja BBM.
Adapun total dana hibah yang didapatkan PMI Riau selama tahun anggaran itu mencapai Rp6,15 miliar. Namun, kedua tersangka menggunaan dana hibah tersebut, untuk kepentingan pribadinya dan tidak sesuai peruntukannya.
Untuk mengelabui pertanggungjawaban, tersangka Rambun Pamenan membuat nota pembelian fiktif, yaitu mengubah, meniru, dan dibuat palsu. Selanjutnya, dilakukan pembelian barang dengan mark up harga dan terdapat kegiatan/program yang fiktif.
"Selain itu ada pemotongan sebagian dana yang seharusnya diterima oleh pihak yang berhak, seperti pembayaran gaji pengurus/gaji staf markas atas nama orang-orang yang namanya dicatut padahal tidak ada bekerja sebagai pengurus maupun sebagai staf markas," imbuh Zikrullah.
Akibat dari perbuatan kedua tersangka, terdapat kerugian keuangan daerah berdasarkan hasil audit perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Riau sebesar Rp1.112.247.282.