Diskusi Publik Walhi Riau: Perempuan Rentan Terdampak Krisis Iklim dan Bencana Ekologis

Diskusi Publik Walhi Riau: Perempuan Rentan Terdampak Krisis Iklim dan Bencana Ekologis

Riaumandiri.co - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau mengadakan diskusi publik mengangkat wacana 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dalam konteks dampak krisis iklim terhadap kaum perempuan. 

Diketahui perempuan memikul tanggung jawab yang tidak proporsional dalam memperoleh pangan, air, dan bahan bakar. Contohnya, pertanian sebagai sektor pekerjaan yang paling penting bagi perempuan di negara - negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah.

Selama periode kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu, perempuan sebagai pekerja pertanian dan penyedia barang utama, bekerja lebih keras untuk mengamankan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga mereka.


Hal ini memberikan tekanan tambahan pada anak perempuan, yang seringkali harus meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka mengatasi beban yang semakin meningkat. Mereka harus beradaptasi untuk meningkatkan perlindungan dan ketahanan serta keterampilan.

Perwakilan Walhi Riau, Sri Depi Surya Azizah menyatakan berbagai aktivitas yang dapat merusak lingkungan hidup justru akan memperparah krisis iklim yang saat ini sudah dirasakan semua kalangan termasuk masyarakat di Provinsi Riau khususnya di wilayah perkotaan. Depi juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak serius dalam menanggapi persoalan ini, salah satunya terkait persoalan sampah.

Saat ini dampak buruk pengelolaan sampah menimbulkan berbagai masalah, seperti pencemaran lingkungan, buruknya sanitasi, dan banjir. Berbagai masalah ini mempengaruhi kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.

"Beban paling berat akibat masalah tersebut dirasakan oleh perempuan, sebab mereka yang banyak menangani kebutuhan domestik sekaligus memastikan kesehatan anggota keluarganya. Padahal dirinya sendiripun sudah mengalami kesulitan karena secara biologis sangat bergantung dengan keberadaan air bersih,” jelas Depi.

Depi juga memaparkan sejalan dengan kerusakan ekologis yang terjadi, perempuan adat dan lokal sebagai kelompok yang sangat bergantung pada sumber daya alamnya, kerap terlibat aktif menyuarakan perjuangannya agar ruang hidupnya dilindungi oleh negara.

Namun, perjuangan perempuan dalam memperjuangkan HAM dan Lingkungan Hidup ternyata juga seringkali menjadi sasaran kekerasan, seperti yang dialami oleh para perempuan di Pulau Rempang.

Kekerasan tersebut bermula ketika sekelompok preman melakukan intimidasi terhadap beberapa masyarakat dan kelompok perempuan bahkan menyebabkan warga menjadi korban dan satu orang lansia perempuan mengalami patah tulang.

“Ketika Perempuan Pembela HAM dan Lingkungan Hidup melakukan perjuangan ia akan mengalami kerentanan dan kekerasan khusus. Hal ini karena perempuan memiliki situasi yang berbeda dengan pembela HAM laki-laki. Sistem patriarki yang telah mengakar di masyarakat kerap membuat gerak perempuan tidak seluas laki-laki. Ia kerap tidak didengar dan dinomorduakan dan selalu diletakkan di ranah domestik. Kondisi inilah yang membuat terbatasnya ruang gerak Perempuan Pembela HAM,” jelas Depi.

Perwakilan Riau Women Working Group (RWWG), Linda Patra menyebut ekspansi perkebunan dengan deforestasi serta adanya emisi gas rumah kaca memperparah krisis iklim yang berdampak pada kaum perempuan dan rentan. 

"Ini perusahaan yang membuka lahan untuk ekspansi perkebunan masyarakat, adanya emisi gas rumah kaca, ini akibat pemanasan global, suhu ekstrem, kemudian pertanian menggunakan pestisida dan BBM yang tidak ramah lingkungan," ujarnya. 

Perempuan banyak menggantungkan hidupnya pada lahan maupun hutan, hal ini memiliki ancaman potensi kebakaran hutan dan lahan. 

"Kenapa banyak perempuan yang terdampak? Karena banyak perempuan menggantungkan hidupnya di lahan maupun hutan, data BPBD tahun 2023 itu ada 35 desa di Rohil." sebut Linda. 

Akses air bersih akan sulit didapatkan apabila terjadi karhutla. "Kemudian akses air bersih perempuan sulit mendapatkannya, akhirnya rentan cemas ketika liat api," ungkapnya. 

Perwakilan masyarakat Pulau Mendol, Sukatmi menyebut permasalahan di daerahnya, yakni masuknya PT TUM sehingga menyebabkan banjir dan berpotensi karhutla yang terjadi. 

"Kami akan lindungi tanah kami untuk masa depan anak kami, sebab lahan kami sepenuhnya gambut, gambut itu yang harus dijaga, dia rentan terbakar," ujarnya. 

Perwakilan desa Batu Ampar, Hendri Yanti hampir perbatasan Jambi-Riau, jadi disini kita bisa sedikit berbagi kisah dan perjuangannya menolak blasting perusahaan.

"Perjuangan kami benar berat, menguras emosi dan tenaga, kami harus berjuang. PT BPP masuk alhamdulillah desa kita sangat makmur, penduduknya semuanya punya kebun, ada 20 persen, setelah masuk PT BPP membeli lahan warga, kami merasakan dampak buruk," katanya.