Zainul Akmal: Sanksi Pidana tak Buat Koruptor Jera

Zainul Akmal: Sanksi Pidana tak Buat Koruptor Jera

Riaumandiri.co - Pasca ditetapkannya Pj Walikota Pekanbaru dan Sekretaris Daerah sebagai tersangka korupsi pengadaan fiktif keuangan daerah membuat sejumlah pihak terkejut.

Pengamat hukum UNRI, Zainul Akmal menilai hukuman yang diberikan kepada koruptor tidak harus memberikan efek jera, melainkan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan korupsinya.

"Perlu dikaji ulang tujuan sanksi pidana untuk membuat seseorang jera. sebab tidak ada kepastian bahwa seseorang seperti dipenjara, lalu tidak mengulangi perbuatanya lagi. Faktanya ada yang melakukan kejahatan lagi setelah keluar dari penjara. oleh sebab itu, Perlu sudut pandang pemberian hukuman adalah konsekuensi logis akibat perbuatan jahat yang sudah dilarang oleh Undang--Undang sebagai kontrak sosial untuk dijadikan pedoman hidup bersama dalam bernegara" ujar Zainul.


Sanksi pidana penjara acapkali tidak memiliki efek untuk memutus mata rantai korupsi, bahkan merugikan negara kembali. Sebab negara harus menyiapkan fasilitas seperti, tempat tinggal, penyuluhan (agama dan lainnya), kesehatan, air, listrik, serta makan dan minum. Semua itu disediakan negara dengan uang hasil pendapatannya.

Sejumlah alternatif tambahan hukuman bagi koruptor bisa diberlakukan, diantaranya perampasan aset pejabat yang korup. "Penting perampasan aset, karena itu salah satu instrumen bagi negara dalam menegakkan hukum larangan perbuatan korupsi sekaligus sebagai jaminan bagi negara bahwa kerugiannya akan dipulihkan kembali" lanjutnya.

Diketahui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset pun menjadi salah satu senjata yang telah dirancang Pemerintah sebelumnya untuk menggencarkan pemberantasan korupsi dan akan dilanjutkan oleh pemerintahan saat ini.

RUU tersebut akan mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri atas sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, serta pengembalian aset.

Selain itu, terdapat pula aturan mengenai batasan aset tindak pidana yang dapat dirampas, yakni aset yang bernilai Rp100 juta ke atas dan aset yang berkaitan dengan tindak pidanakan yang memiliki ancaman pidana penjara selama 4 tahun atau lebih.

Selanjutnya Zainul mengusulkan muatan materi hukuman potong tangan bagi koruptor dengan catatan bisa tidak dipenjara kembali. "Perlu dicanangkan muatan materi pidana potong tangan, tapi mungkin tidak dipenjara lagi," katanya.

Hukuman tambahan sanksi kerja sosial bisa jadi opsi memberikan konsekuensi atas perbuatan korupsi.

"Sanksi pidana kerja sosial, perlu ditambahkan untuk pelaku koruptor, misalnya membersihkan selokan dan sampah. Jika digaji, nanti uangnya sepenuhnya diberikan ke negara, sebagai upaya ganti keuangan negara yang telah dirugikan" katanya.

Terkait wacana publik ingin adanya hukuman mati bagi para koruptor, Zainul sepakat namun dengan catatan perbuatan korupsi yang dapat menimbulkan  dampak kematian atas perbuatannya. "Kalau hukuman mati, itu soal nyawa. Jadi harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa korupsi yang dilakukan oleh koruptor menyebabkan ada yang mati," tegasnya

Ia mencontohkan korupsi bantuan sosial (bansos) yang dapat menyebabkan oang meninggal karena kelaparan. "Misalnya korupsi bansos, akibatnya ada yang meninggal karena kelaparan sebab tidak mendapatkan bantuan sosial tersebut. atau korupsi jalan raya, akibatnya banyak jalan berlobang lalu terjadi kecelakaan dan mati," katanya.

"Karena soal nyawa adalah hak asasi manusia, yang mendasar dan jika direnggut, tidak bisa dikembalikan lagi," tambahnya.

Ia pun menutup pernyataan nya dengan rentetan hukuman yang bisa diberikan kepada koruptor, mulai dari hukuman penjara, denda, perampasan aset, kerja sosial, potong tangan, dan hukuman mati.

Pengamat Politik FISIP UNRI, Saiman Pakpahan menilai OTT yang dilakukan KPK merupakan hal yang tingkat kebersalahannya tinggi.

Hal ini tentu mengejutkan semua pihak yang ada di Kota Pekanbaru. "Mengejutkan ya, dan penangkapan OTT ini menjadi perhatian Se-Indonesia, kemarin Cagub Bengkulu sekarang Pj Wako," ujar Saiman.

Lebih lanjut, seharusnya status Penjabat (Pj) tidak mengutak atik kebijakan strategis. "Point berikutnya Pj ini harusnya tidak melakukan hal yang strategis, ini kaitannya dengan pengkondisian beberapa mata anggaran 2025," katanya.

Bahkan, perbuatan Risnandar juga mencederai Kementerian Dalam Negeri.

Hal itu sangat beralasan, mengingat Eks Pj itu orang nomor dua di Kemendagri dan pernah menempuh pendidikan di IPDN. "Korupsi ini melibatkan swasta, Kadis, Sekda, bahkan akhirnya mencederai Kemendagri," katanya.

Seorang Pj menurutnya bertanggungjawab kepada Kemendagri karena tak dipilih masyarakat, khususnya Kota Pekanbaru. "Risnandar tak dipilih masyarakat Pekanbaru, jadi dia tak bertanggungjawab kesana, hanya ke Kemendagri," sebutnya.

Perbuatan korup yang dilakukan tentu mencerminkan mentality yang buruk. "Ini dipraktekkan Risnandar, yang kena di mentality nya buruk," tegas Saiman.

Ia juga menyarankan agar masyarakat sipil diperkuat untuk mengawasi praktek elite yang tidak mengutamakan kepentingan masyarakat. "Harus diperkuat adalah masyarakat sipil, sehingga praktek kenegaraan elite bisa diawasi masyarakat sipil," ujarnya.

Solusi yang ia tawarkan selanjutnya adalah memotong satu generasi , sehingga memunculkan anak muda yang bersih.

"Eksekutif, legislatif, kemudian yudikatif pun beberapa hakim kena persoalan, memang kultur kita itu yang korup, caranya paling potong satu generasi, sehingga muncul anak muda yang bersih, tapi itu tidak mungkin itu cara ekstrem," katanya.