Gepeng Marak di Pekanbaru, Akademisi Tata Kota Dr Mardianto: Wajib Dipelihara Negara
Riaumandiri.co - Akademisi Tata Kota Universitas Islam Riau (UIR), Dr.Mardianto Manan, M.T merespon adanya gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Kota Pekanbaru yang marak adanya.
Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
"Orang miskin di negara ini harus dipelihara, sebagaimana UUD 1945 pasal 34," katanya.
Gepeng tersebut dapat dijumpai di beberapa flyover diantaranya flyover SKA, dan depan Gramedia Pekanbaru.
Menurut Dr.Mardianto, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru harus menyediakan anggaran dari Dinas Sosial (Dinsos) untuk menangani gepeng.
"Perlu ada dari Dinsos anggaran pembinaan, pelatihan atau pencerdasan atau pengetahuan bagi gepeng," katanya.
Riau yang merupakan daerah kaya akan minyak, tak menjamin masyarakat nya sejahtera.
"Kita di atas minyak, di bawah minyak, tapi masyarakat miskin dibiarkan di flyover, banyak hal memalukan kita," ujar Mardianto.
Apalagi tentunya semakin banyak gepeng ataupun pengangguran, akan menimbulkan kriminalitas.
"Pasti akan berdampak pada Kota Pekanbaru, seperti estetika kota kita, adanya pemukiman atau jadi kumuh, kemudian gangguan lalu lintas, semakin macet kota ini," ungkapnya.
Ia menegaskan agar Pemko memperlihatkan kepedulian dan ketegasan kepada para gepeng. "Harus tegas, kalau tidak, kondisi ini siapa yang mau tanggungjawab?," katanya.
Persoalan gelandangan dan pengemis telah menjadi isu nasional kesejahteraan sosial.
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No.11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial yang memberikan ruang bagi terbukanya pemenuhan kesejahteraan tak terkecuali gelandangan dan pengemis.
Secara umum penanganan gelandangan dan pengemis dibagi dalam dua kategori, yaitu penanganan terorganisir dan penanganan tidak terorganisir.
Penanganan terorganisir adalah penanganan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan secara berkelanjutan, meliputi dua sistem yaitu sistem panti dan sistem non-panti sosial.
Sistem panti sosial adalah sistem penanganan yang ujung dari alur penanganannya berupa diterima dan dibinanya gelandangan dan pengemis di panti sosial dengan melibatkan aparat pemerintahan (Dinas Sosial dan Satpol PP) dalam penjemputan gelandangan dan pengemis lalu menyerahkannya ke panti sosial yang kemudian (panti sosial bersangkutan) akan melakukan pembinaan, pelayanan, rehabilitasi, pembinaan lanjutan dan terminasi.
Sementara itu, sistem non-panti sosial berbeda dengan sistem panti sosial karena keterlibatan aparat pemerintahan sangat kecil karena masyarakat setempat (yayasan individu) yang memegang peranan utama dalam melakukan pembinaan, pelayanan, rehabilitasi, dan pemberdayaan bagi gelandangan dan pengemis.
Pengorganisasian kegiatan menurut sistem ini dilakukan oleh pemilik/masyarakat (donatur) karena dibiayai secara swadaya oleh masyarakat atau swasta.
Oleh karena itu, penanganan sistem non-panti sosial disebut mengedepankan tindakan yang bersifat altruisme karena sarat nilai kemanusiaan dan saling tolong-menolong.
Sementara penanganan yang tidak terorganisir biasanya tidak memasukkan gelandangan dan pengemis dalam panti seperti penanganan terorganisir melalui panti sosial dan panti individu diatas.
Penanganan tidak terorganisir biasanya dilakukan dalam waktu tertentu dan sifatnya temporer seperti misalnya penyaluran bantuan atau bakti sosial bagi gelandangan dan pengemis.