Judi Online Termasuk Bentuk Kejahatan Luar Biasa
RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menilai judi online (judol) merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena memiliki dampak luas bagi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
“Judi online, menurut saya, tidak lagi menjadi kriminal biasa, tapi sudah berkembang menjadi extraordinary crime atau kejahatan luar biasa karena sangat mempengaruhi sendi-sendi sektor kehidupan masyarakat, bahkan negara,” kata Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/11/2024).
Legislator Dapil Jawa Tengah VI ini setuju dengan penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada para pelaku yang memfasilitasi judol.
“Saya sepakat para bandar dan mafia-mafia judol ini dimiskinkan. Penerapan TPPU harus dilakukan dengan maksimal,” tutur Abdullah.
Seperti diketahui, polisi akan menerapkan pasal TPPU kepada para tersangka kasus judol yang melibatkan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Saat ini total sudah 18 orang tersangka ditangkap dalam kasus tersebut di mana 10 diantaranya adalah pegawai Komdigi, dan sisanya merupakan sipil.
Tersangka menyalahgunakan kewenangan dengan mengatur pemblokiran judi online. Sejumlah situs judi online yang menyetorkan uang tetap dibuka aksesnya oleh para tersangka.
Terbaru Polda Metro Jaya menangkap 2 orang tersangka lagi pada Minggu (10/11) kemarin dengan inisial MN dan DM. Tersangka MN merupakan penghubung antara bandar judi dengan para tersangka lainnya, seperti menyetor uang dan list website agar dijaga supaya tidak diblokir. Sementara tersangka DM berperan membantu kejahatan MN, termasuk menampung uang hasil kejahatan.
“Kita harap pihak kepolisian terus mengembangkan pengusutan kasus ini. Kejar para bandarnya, karena mereka inilah yang berkuasa terhadap pengendalian judi online,” tegas politisi PKB ini.
Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum ini pun menyebut pemiskinan bandar diperlukan untuk menjadi efek jera bagi para fasilitator judol. Abdullah juga meminta Polisi bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengusut ke mana saja uang dari kejahatan judol dikelola.
“Implementasi dari penerapan TPPU juga harus dikawal bersama guna memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan dapat optimal kepada para pelaku kejahatan judol,” sebutnya.
Abdullah juga mengingatkan pentingnya kolaborasi yang lebih erat antara kepolisian, instansi penegak hukum lain, Komdigi, dan kementerian/lembaga terkait sehingga setiap tindak pidana yang terungkap mendapat sanksi yang tegas dan menyeluruh.
“Tentunya kerja sama dan dukungan dari instansi lain juga diperlukan, khususnya dari pihak kejaksaan sehingga penanganan kasus ini dapat clear. Dan pastikan penegakan hukum dilakukan dengan profesional dan transparan,” imbuh Abdullah.
Abdullah meminta penanganan khusus dalam kasus kejahatan judi online. “Fenomena judi online adalah masalah serius yang merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat, bahkan negara, karena judol ini seperti narkoba yang menyebabkan perilaku adiktif penggunanya sehingga merusak moral bangsa,” tuturnya.
Abdullah menyatakan ada banyak irisan dari fenomena judol. Mulai dari dampak sosial seperti mengancam ketahanan keluarga, dampak ekonomi akibat perputaran uangnya hingga judol membuat pemain menjadi berutang, sampai masalah kesehatan mental dan kriminal.
“Bandar mengincar masyarakat kita dari kalangan menengah ke bawah dengan memainkan sisi psikologi mereka. Pertama dibuat menang, setelah itu uangnya dikuras. Banyak masyarakat yang akhirnya terjerat utang atau pinjol akibat judol ini,” papar Abdullah.
Hal yang tak kalah serius, menurut Abdullah, adalah bagaimana judol yang banyak dikemas seperti permainan games online menjadi ancaman untuk generasi muda penerus bangsa.
Berdasarkan laporan PPATK, anak terpapar judi online di Indonesia telah meningkat sampai 300%. Bahkan sepanjang tahun ini, PPATK melaporkan lebih dari 197.000 anak terlibat judol. Anak-anak yang terpapar judi online berada di rentang usia 11-19 tahun.
“Makanya saya bilang judol ini sudah masuk dalam extraordinary crime karena telah merampas hak-hak anak,” tukas Abdullah.
Extraordinary crime atau kejahatan luar biasa sendiri memang merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan hak asasi manusia. Abdullah mengatakan, salah satu hak yang dirampas akibat judol ini dirasakan oleh anak-anak.
“Mungkin uang yang seharusnya untuk dana pendidikan anak dan pemenuhan gizi mereka, akhirnya dipakai oleh orangtuanya untuk bermain judol. Ini kan merampas banyak hak anak, khususnya hak anak memperoleh kesejahteraan tanpa dihantui masalah ekonomi,” sambung Abdullah.
Belum lagi, kata Abdullah, hak-hak pihak lain yang terkena dampak dari judol mengingat judi online berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi hingga politik.
“Irisan dari judol ini ada banyak sekali, maka penanganannya pun diperlukan upaya yang ekstra juga. Tidak cukup penegakan hukum saja, tapi masuk juga ke aspek sosial, budaya, ekonomi, bahkan pendidikan,” jelasnya.
Di sisi lain, Abdullah menilai terungkapnya kasus yang melibatkan pegawai Komdigi ini harus menjadi momen peningkatkan komitmen pemerintah dan penegak hukum dalam pemberantasan judol. Pemerintah diminta untuk bertindak lebih tegas dan terstruktur dalam menutup akses situs-situs judi online serta melakukan pengawasan yang lebih ketat bagi internalnya.
“Bagi penegak hukum, saya harapkan agar tidak pandang bulu dalam menumpas para pelaku kejahatan judol yang merugikan finansial dan menyasar orang dewasa hingga anak-anak ini,” ungkap Abdullah.
Abdullah mengatakan, pemberantasan judol harus dilakukan dari hulu ke hilir. Semua stakeholder disebut harus terlibat mengupayakan diberantasnya fenomena judol yang telah menjadi momok di Tanah Air.
“Penegakan hukum dan pengetatan akses juga harus dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kalau judol tidak diberantas, SDM kita yang akan terancam karena judol menggerus etika dan moral generasi penerus calon pemimpin bangsa kita ke depan,” pungkas Abdullah. (*)