Kritikan Vonis 6 Tahun Guru Cabul di Siak, Dukung Langkah JPU untuk Banding

Kritikan Vonis 6 Tahun Guru Cabul di Siak, Dukung Langkah JPU untuk Banding

Riaumandiri.co - Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Siak yang hanya menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada EP, seorang guru SD yang terbukti mencabuli 9 muridnya di Kecamatan Kandis, menimbulkan kekecewaan dan kecaman dari berbagai pihak.

Vonis yang dibacakakan oleh Hakim Ketua Ahmad Fadil dan dua hakim anggota Fajri Ikram dan Rina Wahyu Senin (21/10) hanya menjatuhkan vonis 6 tahun penjara terhadap EP. 

Vonis tetsebut dinilai jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut EP dengan hukuman 14 tahun penjara. 


Menurut JPU, tindakan pelaku, yang seharusnya menjadi panutan bagi muridnya, malah berujung pada perbuatan bejat yang membuat para korban mengalami trauma mendalam.

EP, yang merupakan wali kelas di SDN 21 Belutu Kandis, terbukti melakukan pelecehan terhadap 9 siswi dalam kurun waktu Oktober hingga November 2023. Kejahatan ini dilakukan baik di ruang kelas saat jam belajar, maupun di rumahnya. 

Meski fakta-fakta hukum jelas membuktikan perbuatannya, EP tidak mengakui semua kesalahan tersebut dan berdalih bahwa tindakannya hanya bentuk rasa sayang terhadap para korban yang dianggap anak oleh pelaku.

Kasus ini terungkap ketika salah satu korban bercerita kepada korban lainnya, yang kemudian dilaporkan kepada orang tua masing-masing. Kejadian ini berdampak berat pada korban-korban yang rata-rata mengalami depresi dan ketakutan hingga enggan keluar rumah karena trauma melihat pelaku. 

Dampak psikologis yang ditimbulkan oleh tindakan EP sangat serius dan menimbulkan trauma mendalam bagi para korban yang seluruhnya masih tergolong anak-anak.

Kajari Siak, Moh Eko Joko Purnomo, melalui Kasi Intelijen, Rawatan Manik, menyatakan kekecewaannya atas putusan hakim yang sangat ringan tersebut. 

“Kami merasa vonis ini sangat tidak mencerminkan rasa keadilan, baik bagi korban maupun masyarakat. Tuntutan 14 tahun penjara adalah hal yang wajar mengingat beratnya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku,” kata Manik, Selasa (22/10).

Rawatan Manik juga bilang bahwa putusan ini sangat jauh dari harapan, mengingat Kabupaten Siak pernah mendapatkan predikat sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di tingkat nasional. 

“Kabupaten Siak pernah diakui sebagai kota layak anak, namun vonis ini justru memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap anak. Putusan ini tidak hanya mengecewakan para korban dan keluarga mereka, tetapi juga masyarakat Kabupaten Siak yang menginginkan keadilan,” 

Orang tua para korban pun menyatakan kekecewaannya atas vonis tersebut. Salah satu orang tua korban menyebutkan bahwa hukuman 6 tahun penjara tidak sebanding dengan trauma yang dialami anak-anak mereka. 

“Bagaimana mungkin pelaku hanya dijatuhi hukuman 6 tahun atas tindakan yang merusak hidup anak-anak kami? Ini sangat tidak adil,” tegasnya.

Setelah pembacaan vonis, JPU menyatakan akan mengambil waktu untuk pikir-pikir selama 7 hari sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Meskipun begitu, Kajari Siak memberikan sinyal bahwa mereka mempertimbangkan untuk mengajukan banding. 

“Kami akan mengevaluasi semua aspek, namun tuntutan 14 tahun yang kami ajukan sudah sesuai dengan beratnya pelanggaran ini,” jelas Rawatan Manik.

Rawatan Manik berharap, jika banding diajukan nanti, hasilnya dapat memberikan keadilan yang lebih setimpal bagi para korban dan keluarga mereka. Kasus ini juga menjadi pelajaran bahwa kejahatan seksual terhadap anak harus ditangani dengan hukuman yang tegas.

Desakan dari berbagai pihak agar hukuman diperberat mencerminkan betapa pentingnya peran hukum dalam melindungi hak-hak anak dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual, terutama di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak.