Riau Madani Ultimatum Manuver Mafia Tanah
Riaumandiri.co - Pendiri Yayasan Riau Madani Surya Darma mengultimatum para mafia tanah yang mengatasnamakan oknum kesukuan maupun jabatan agar berhenti bermanuver terkait areal yang sebelumnya mereka ajukan ke meja hijau di wilayah Kabupaten Kampar.
Ultimatum itu menyusul adanya surat dari Ketua DPRD Kampar Muhammad Faisal ke Kemenkopolhukam yang dilayangkan pada 8 Juli 2024 silam. Faisal dalam suratnya mempertanyakan penyelesaian sengketa tanah ulayat masyarakat adat Persukuan Ganting-Bangkinang.
Dalam surat yang turut menyematkan pernyataan Kepala Dinas Perkebunan Kampar, Marhalim, yang tidak lain adalah anak dari Datuk Pandak tersebut mengklaim bahwa DPRD Kampar disebut telah beberapa kali menggelar rapat dengar pendapat dengan Ninik Mamak Persukuan Ganting.
Kemenkopolhukam pun merespon dengan menyatakan akan menggelar rapat koordinasi terkait surat tersebut pada Jumat esok (18/10).
"Kami menyoroti urgensi pelaksanaan rapat tersebut. Apa motif dan tujuan akhirnya, akan kami kawal hingga tuntas. Jadi, jangan ada pihak-pihak lain yang punya niat memanfaatkan putusan tersebut," kata Surya yang turut mengemban sebagai Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani itu, Kamis hari ini.
Yayasan Riau Madani sendiri menggugat areal perkebunan sawit yang dikelola PTPN IV Regional III seluas 2.823 hektare yang disebut dalam kawasan hutan produksi terbatas milik anak perusahaan konsesi jumbo Sinarmas Group di Tapung, Kabupaten Kampar ke Pengadilan Negeri Bangkinang, 2013 silam.
Namun, pada faktanya areal tersebut tidak berada dalam satu hamparan dan wilayah administrasi yang sama, melainkan sebagian besarnya berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Sementara, di Kabupaten Kampar sendiri hanya seluas 594 hektare.
Meski begitu, perkara ini bergulir hingga tahap peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) dan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap pada 2016 silam dengan Riau Madani memenangkan gugatan tersebut.
Namun, berkali-kali upaya eksekusi putusan diajukan Yayasan Riau Madani gagal karena areal tersebut termasuk dalam kategori non executable.
Belakangan, sejumlah pihak mengatasnamakan kesukuan serta memanfaatkan jabatan berupaya untuk ambil kesempatan akan putusan itu. Hal ini yang selanjutnya memantik amarah Yayasan Riau Madani.
Ia mengingatkan agar Kemenkopolhukam berhati-hati dalam menyikapi surat Ketua DPRD Kampar tersebut. Sebab, perkara itu telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap yang harus dipatuhi oleh siapapun, termasuk negara.
Putusan akhir perkara tersebut yakni meminta agar PTPN IV Regional III untukmelakukan penanaman kembali dengan tanaman akasia sebagaimana layaknya hutan tanaman industri (HTI).
Sebagaimana diketahui, kebun sawit yang dikelola PTPN V tersebut, merupakan areal konsesi HTI milik PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI), pemasok bahan baku industri kertas Sinarmas Grup.
"Seharusnya negara bisa menegakkan putusan hukum tersebut. Bukan sebaliknya mengambil langkah-langkah yang berpotensi bertentangan dengan putusan hukum yang sah dan telah berkekuatan hukum tetap. Bukan pula justru membuka ruang-ruang baru di luar putusan hukum. Itu kalau Indonesia memang negara hukum, bukan negara kekuasaan," lanjut pria berkacamata itu.
Untuk itu, pihaknya tidak akan segan melakukan upaya hukum, jika nantinya pemerintah mengambil kebijakan yang bertentangan dengan putusan perkara, lewat rapat koordinasi yang akan dilakukan Kemenkopolhukam pada Jumat mendatang di Pekanbaru.
"Jika ada kebijakan yang diambil bertentangan dengan putusan perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka kami akan mengambil langkah hukum. Termasuk melakukan gugatan hukum kepada institusi dan pejabat yang melakukan tindakan di luar putusan pengadilan dan Mahkamah Agung," demikian dia.
Surya Darma juga menepis adanya klaim tanah ulayat yang dihubungkan dengan gugatan Yayasan Riau Madani. Menurutnya, gugatan Riau Madani di Pengadilan Negeri Bangkinang dengan nomor putusan: 38/Pdt.G/2013/PN.BKN tanggal 10 April 2014, sama sekali tidak ada kaitannya dengan klaim tanah ulayat.
Putusan itu diperkuat oleh amar putusan Peninjauan Kembali (PK) nomor: 608PK/Pdt/2015 tanggal 23 Februari 2016.
Ia menegaskan, bahwa gugatan Yayasan Riau Madani sebagai organisasi lingkungan hanya berfokus pada gugatan lingkungan, secara khusus objeknya adalah kawasan hutan.
"Gugatan kami sama sekali tidak ada kaitannya dengan klaim tanah ulayat. Dalam amar putusan mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, sama sekali tidak ada disinggung tentang tanah ulayat," tegasnya.
Ia khawatir, lahan kebun sawit yang dikelola PTPN IV Regional III akan bernasib sama seperti kebun sawit Senama Nenek di Tapung Hulu, Kampar. Pada 2018 silam, Jokowi memutuskan kebun sawit yang digarap PTPN V seluas 2.800 hektare lebih di Senama Nenek dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Belakangan pembagian kebun sawit itu tidak tepat sasaran dan menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bahkan, tak sedikit sertifikat itu diperjualbelikan secara bebas melalui media sosial.
"Jangan ada pikiran menjadikan kebun sawit di Batu Gajah, Tapung ini menjadi Sinama Nenek jilid dua. Harus dikembalikan sebagai kawasan hutan sebagaimana putusan hukum yang sudah inkrah," tuturnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa salah satu penyebab tidak dapat dilaksanakannya eksekusi tersebut karena areal yang digugat saat ini telah mengalami perubahan status kawasan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dari kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL).