Marcellus Williams, Imam Keturunan Afrika-Amerika Dihukum Mati

Marcellus Williams, Imam Keturunan Afrika-Amerika Dihukum Mati

MISSOURI -- Marcellus Williams (55 tahun), seorang imam keturunan Afrika-Amerika yang hukuman matinya dipertanyakan oleh seorang jaksa setelah ditemukannya bukti baru, akan dieksekusi pada Selasa (24/9) malam setempat atau Rabu (25/9) pagi WIB.

Hal itu setelah Mahkamah Agung Amerika Serikat (MA AS) menolak permohonannya untuk penundaan eksekusi mati.

Pengadilan tidak memberikan penjelasan atas keputusannya, yang umum terjadi untuk kasus dalam agenda darurat. Tidak ada perbedaan pendapat yang tercatat dalam dua banding Williams. Dalam kasus ketiga, Hakim Sonia Sotomayor, Elena Kagan, dan Ketanji Brown Jackson menyatakan bahwa mereka akan menyetujui permintaan untuk menunda eksekusi tersebut.


Williams dijadwalkan dieksekusi dengan suntikan mematikan di penjara negara bagian di Bonne Terre, Missouri, AS pada pukul enam sore waktu setempat.

Keputusan MA AS datang sehari setelah MA Missouri dan Gubernur Mike Parson menolak memberikan penundaan eksekusi. Pengacara Williams mengajukan beberapa upaya banding berdasarkan apa yang mereka sebut sebagai bukti baru, termasuk dugaan bias dalam pemilihan juri dan kontaminasi senjata pembunuhan sebelum persidangan.

Keluarga korban meminta agar Williams tidak dijatuhi hukuman mati. "Malam ini, Missouri akan mengeksekusi seorang pria yang tidak bersalah, dan mereka akan melakukannya, meskipun jaksa tidak ingin dia dieksekusi, para juri yang menjatuhkan hukuman mati tidak ingin dia dieksekusi, dan para korban sendiri tidak ingin dia dieksekusi," kata salah satu pengacara Williams, Tricia Rojo Bushnell.

"Kita memiliki sistem yang lebih mengutamakan kepastian hukum dibandingkan dengan keadilan, dan inilah hasilnya."

Keputusan eksekusi datang hanya beberapa saat sebelum wawancara Bushnell dengan CNN. "Itu berita baru bagi kita semua, dan saya rasa ini seharusnya menjadi aib bagi kita semua, bahwa kita memiliki sistem yang akan membiarkan seseorang dieksekusi meskipun semua ini terjadi. Ini bukanlah sistem keadilan," kata pengacara tersebut.

Bushnel menambahkan, anggota tim hukum Williams, serta keluarganya, akan bersama sang narapidana menjelang eksekusi

Baru-baru ini, jaksa utama di St Louis County bergabung dengan pengacara Williams meminta agar hukuman tersebut dibatalkan. Hal itu terjadi setelah kesaksian baru dari jaksa persidangan tahun 2001 dan pengujian DNA terbaru menunjukkan adanya kontaminasi bukti.

Kasus itu menyoroti risiko eksekusi seseorang yang mungkin tidak bersalah. Setidaknya 200 orang yang dijatuhi hukuman mati sejak 1973, kemudian dinyatakan tidak bersalah, termasuk empat di Missouri, menurut Death Penalty Information Center.

Pengacara Williams dan Jaksa Penuntut St. Louis County, Wesley Bell, mengajukan laporan bersama pada Sabtu (21/9), meminta MA Missouri agar mengirim kembali kasus itu ke pengadilan yang lebih rendah untuk “dengar pendapat yang lebih komprehensif” terkait permintaan Bell pada Januari 2924m untuk membatalkan hukuman dan vonis Williams tahun 2001.

Kantor Kejaksaan St. Louis, yang menangani persidangan melawan Williams, berpendapat dalam mosi tersebut, pengujian DNA pada pisau yang digunakan dalam pembunuhan mungkin menunjukkan bahwa Williams bukan pembunuh Gayle.

Namun upaya tersebut gagal dalam sidang pengadilan bulan lalu, setelah pengujian DNA baru mengungkapkan bahwa senjata pembunuhan telah salah penanganan sebelum persidangan tahun 2001, mengontaminasi bukti yang dimaksudkan untuk membebaskan Williams dan memperumit upayanya untuk membuktikan ketidakbersalahannya.

Pengacara "menerima laporan yang menunjukkan bahwa DNA pada senjata pembunuhan milik seorang asisten jaksa penuntut dan seorang penyelidik yang telah menangani senjata tersebut tanpa sarung tangan sebelum persidangan," kata cabang yudisial negara bagian.

Namun Kantor Jaksa Agung Missouri mengatakan, temuan DNA baru yang dirilis bulan lalu tidak membebaskan Williams. "Dalam kasus ini, putaran baru pengujian DNA membuktikan bahwa kantor ini benar sejak awal; pisau yang dimaksud telah ditangani oleh banyak pihak, termasuk penegak hukum, sejak ditemukan," kata Jaksa Agung Andrew Bailey.

"Selain itu, salah satu ahli pembela sebelumnya bersaksi bahwa dia tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa DNA Williams juga ada di pisau tersebut. Dia hanya dapat bersaksi bahwa cukup banyak pihak yang menangani pisau tersebut selama proses hukum sehingga DNA pihak lain hadir."

"Barang-barang pribadi korban ditemukan di mobil Williams setelah pembunuhan itu. Seorang saksi bersaksi bahwa Williams telah menjual laptop milik korban kepadanya. Williams mengaku kepada pacarnya dan seorang narapidana di Penjara Kota St Louis, dan pacar Williams melihatnya membuang pakaian berdarah yang dikenakan selama pembunuhan," kata kantor jaksa agung tersebut.

The Guardian melaporkan, Williams, yang bertugas sebagai imam di penjara dan mendedikasikan waktunya untuk menulis puisi, dua kali mendapat penundaan eksekusi pada menit-menit terakhir. Dia hampir dieksekusi pada Januari 2015, tetapi MA Missouri memberikan lebih banyak waktu bagi pengacaranya untuk melakukan pengujian DNA.

Pada Agustus 2017, Eric Greitens, gubernur dari Partai Republik saat itu, memberikan penangguhan hanya beberapa jam sebelum eksekusi dijadwalkan, dengan alasan hasil pengujian DNA pada pisau yang tidak menunjukkan adanya jejak DNA Williams. Greitens membentuk sebuah panel untuk meninjau kembali kasus tersebut, tetapi ketika Mike Parson, gubernur dari Partai Republik yang saat ini menjabat, mengambil alih, ia membubarkan dewan tersebut dan mendorong agar eksekusi dilanjutkan.