PTUN, Golkar dan Pilkada Serentak
Tertanggal 18 Mei lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan Putusan Nomor 62/G/2015/PTUN-JKT dengan obyek sengketa Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 Tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya (Golkar).
Melalui putusan mejelis hakim yang dipimpin oleh hakim ketua Teguh Satya Bhakti (TSB) itu, dapat diambil empat poin utama. Pertama, PTUN menyatakan bahwa Menkum HAM telah menjadikan hukum sebagai alat yang menyimpang dari tujuannya (halaman 169). Kedua, Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakri (ARB) hasil Munas Pekanbaru yang sah mengikuti pilkada serentak. Untuk itu Penetapan Nomor 62/G/2015/PTUN.JKT tanggal 1 April 2015 masih dinyatakan sah dan berlaku oleh PTUN sampai ada penetapan lain yang mencabutnya (halaman 168). Ketiga, menyatakan batal SK Menkum HAM Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 dan meminta Menkum HAM untuk mencabut SK tersebut (halaman 171). Keempat, PTUN menolak kepengurusan Golkar di bawah kepengurusan ARB hasil Munas Bali (halaman 171).
Terhadap putusan PTUN ini, ada beberapa catatan yang menarik dicermati serta implikasi hukumnya. Pertama, putusan PTUN tersebut adalah putusan yang bernuansa ulta petita. Artinya hakim mengabulkan yang tidak diminta oleh penggugat (ARB Cs), yaitu PTUN menyatakan hasil munas Pekanbaru yang sah dan berlaku. Hal ini bisa dilihat pada halaman 168 putusan.
Hal demikian harus dilakukan oleh Pengadilan guna memberikan perlindungan hukum (rechtbescherming) bagi Partai Gokar untuk ikut serta mengikuti pilkada serentak dari kemungkinan berlanjutnya intervensi Menteri Hukum dan HAM dengan memanfaatkan proses upaya hukum (rechtsmidellen) yang panjang...”.
Mari kita rujuk pada halaman 43 putusan tersebut perihal petitum/permintaan, yaitu: ”...mohon kepada yang terhormat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berkenan memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memberikan putusan sebagai berikut: “Dalam Penundaan; 1. Mengabulkan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Obyek Sengketa; 2. Memerintahkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan Tergugat Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Ham Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Tanggal 23 Maret 2015 sampai adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara ini; Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Tertanggal 23 Maret 2015; 3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Ham Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya tertanggal 23 Maret 2015; 4. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang mengabulkan permohonan Penggugat yang diajukan oleh Penggugat pada tanggal 8 Desember 2014 sebagaimana Surat Penggugat Nomor: B-03/GOLKAR/XII/2014 tertanggal 5 Desember 2014 perihal Pendaftaran Pergantian Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai GOLKAR masa bakti 2014-2019; 5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara”.
Jadi, sama sekali penggugat tidak ada meminta agar Golkar hasil Munas Pekanbaru yang sah dan berlaku. Malahan penggugat meminta agar Golkar hasil Munas Bali yang sah dan berlaku, namun PTUN menolaknya.
Karena itu, ada yang menyoalkan putusan ini. Mereka beralasan bahwa ultra petita dilarang bagi hakim. Apakah begitu? Bagaimanakah dengan ultra petita dalam putusan ini? Apakah dapat dibenarkan?
Pandangan yang menyatakan bahwa ultra petita dilarang bagi hakim adalah pandangan kaum klasik/positivistik di dalam berhukum atau tradisi di negara-negara penjajah kita dulu. Tradisi yang menganggap hukum adalah deretan kata-kata atau apa yang diminta, itulah yang diputuskan.
Menurut hemat saya, ultra petita dapat dibenarkan, termasuklah ultra petita di dalam putusan PTUN Jakarta ini. Argumentasinya, pertama, secara teori, hakim di Indonesia bukanlah seperti pandangan Montesqieuw, apa yang diminta, itulah yang dikabulkan atau hakim hanyalah sebagai cap stempel dari pembuat UU (bouche de la loi). Kedua, secara yuridis, Pasal 2 Ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: ”Peradilan dilakukan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang MaHa Esa”, serta Pasal 5 Ayat (1) menyatakan bahwa: ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketiga, secara sosiologis, ultra petita di dalam putusan PTUN Jakarta ini, gunanya adalah dalam rangka menghindari kekosongan kepengurusan DPP Partai Golkar sebagai akibat ditunda dan dibatalkannya SK obyek sengketa oleh pengadilan.
Kedua, susunan majelis hakim. Ada juga beberapa pihak yang menyoalkan susunan majelis hakim ini. Kenapa majelis ini dipimpin oleh TTSB. Mereka beralasan dengan merujuk pada lampiran Keputusan Ketua PTUN Jakarta Nomor W2.TUN1/02/HK/06/I/2015 tentang Susunan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Dimana PTUN Jakarta terdiri dari lima majelis, yaitu: “1) Majelis A: Ketua majelis: Hendro Puspito (Ketua PTUN); Anggota majelis: Seluruh hakim. 2) Majelis B: Ketua majelis: Ujang Abdullah (Wakil Ketua PTUN); Anggota majelis: Seluruh hakim. 3) Majelis C: Ketua majelis: Subur; Anggota 1: Nur Akti; Anggota 2: Febru Wartati. 4) Majelis D: Ketua majelis: Indraryadi; Anggota 1: Haryati; Anggota 2: Teguh Satya Bhakti. 5) Majelis E: Ketua majelis: Husban; Anggota 1: Tri Cahya Indra Permana; Anggota 2: Elizabeth IEHL Tobing”. Apakah begitu?
Kalau hanya merujuk kepada lampiran keputusan Ketua PTUN ini, benar bahwa susunan majelis tidak ada satupun dipimpin oleh TSB. Namun harus dingat, membaca sebuah keputusan tidak bijak kalau hanya sepotong/parsial. Artinya harus dibaca utuh.
Berdasarkan keputusan Ketua PTUN tersebut, pada bagian memutuskan, menetapkan bagian kedua: ”Dalam keadaan tertentu dapat dibentuk majelis hakim khusus dan susunan majelis hakim dapat berubah sesuai dengan keperluan serta situasi dan kondisi”. Dengan demikian, berdasarkan klausula ini, maka majelis yang dipimpin oleh hakim termuda di PTUN Jakarta tersebut adalah sah secara hukum.
Sebagai catatan, dalam pengamatan akademik saya selama ini, hakim TSB adalah hakim yang kredibel, cerdas dan visioner. Dan yang bersangkutan tergabung dalam forum hakim beraliran hukum progresif “Satjipto Rahardjo”. Maka wajar beberapa putusan-putusannya sarat dengan kontroversi. Sebab berhukum tidak “dijajah oleh teks”.
Ketiga, putusan ini sama sekali bukan kemenangan ARB. Tapi sesungguhnya kemenangan bagi Golkar. Sebab PTUN tidak menyatakan bahwa Golkar hasil munas Bali yang sah. Malahan hal itu yang ditolak oleh PTUN.
Perihal kubu mana yang sah, PTUN menyatakan sesungguhnya itu adalah wewenang dari Pengadilan Negeri. Untuk itulah kemudian PTUN menentukan yang berlaku dan sah sementara adalah Golkar di bawah kepengurusan sebelumnya. Hal ini dalam rangka Golkar bisa mengikuti pilkada serentak.
Keempat, kubu Agung Laksono (AL) dan KPU secara hukum harus merujuk kepada putusan PTUN Jakarta ini selama belum dianulir oleh hakim selanjutnya (Banding/Kasasi). Bukan merujuk peraturan KPU yang menentukan bahwa partai politik yang mengikuti pilkada serentak adalah partai politik yang terdaftar di Kemenkum HAM. Mengapa demikian? Bukankah putusan PTUN Jakarta tersebut belum berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijs)?
Secara teori, putusan yang belum berkekuatan hukum tetap, “belum dapat” dilaksanakan. Namun teori ini tidak bisa menjangkau putusan PTUN Jakarta tersebut. Sebab PTUN nyata-nyatanya, secara jelas, menyatakan bahwa Golkar hasil munas Pekanbaru lah yang sah mengikuti pilkada serentak. Andaikata tidak dinyatakan seperti itu oleh PTUN, maka barulah teori di atas berlaku. Jadi hari ini, tidak tepat kalau kemudian merujuk pada peraturan KPU.
Terutama untuk KPU, andaikata juga tetap berpendirian dengan tetap mengakui Golkar di bawah kepengurusan AL, bukan Golkar hasil munas Pekanbaru, ini akan membawa konsekuensi hukum yang berakibat fatal, terutama ketika dihadapkan ke meja MK sebagai pengadil sengketa hasil pilkada. Seperti halnya ketika KPU Kota Jayapura tahun 2010 lalu mengabaikan putusan PTUN Jayapura. Implikasinya luar biasa, yaitu melalui Putusan Nomor 196-197-198/PHPU.D-VIII/2010, MK menyatakan pilkada ulang dengan merujuk putusan PTUN. Sebab KPU Jayapura tidak mengakomodir calon yang ditentukan oleh PTUN Jayapura.
Kendatipun demikian secara hukum, tentunya islah adalah pilihan terbaik.***
Oleh: Wira Atma Hajri SH, MH - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.