Penting Pertahankan Industri Tembakau Bagian dari Identitas Nasional

Penting Pertahankan Industri Tembakau Bagian dari Identitas Nasional

RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menegaskan pentingnya mempertahankan industri tembakau sebagai bagian dari identitas nasional.

Dalam pengantar diskusi bertema “Menilik Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Industri Tembakau” di Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2024), Willy menyatakan industri tembakau tidak hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari ekosistem nasional yang melibatkan berbagai sektor, mulai dari petani hingga industri ritel.

Ia menyebut tembakau sebagai simbol identitas nasional yang harus dipertahankan di tengah pesatnya industrialisasi dan kesulitan lapangan pekerjaan.

“Kalau kita tidak memiliki keberpihakan terhadap tembakau sebagai identitas nasional, apalagi di tengah industrialisasi yang gila-gilaan dan susahnya lapangan pekerjaan, kita mau ngapain?” ujar Politisi Partai NasDem ini.

Ia juga menekankan bahwa kebijakan terkait tembakau seharusnya mempertimbangkan ekosistem yang terlibat secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir. Ia mengingatkan agar pembuatan kebijakan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif, serta menggunakan solusi win-win yang melibatkan berbagai pihak.

"Kita butuh solusi triple win, tidak hanya satu atau dua pihak yang diuntungkan, tetapi juga secara strategis lingkungan dan ekosistem yang lebih luas," tambahnya.

Selain itu, Willy menyoroti ketidakadilan yang dirasakan oleh industri tembakau, terutama dalam hal kontribusi besar terhadap penerimaan pajak negara yang tidak dibarengi dengan kebijakan yang adil. Ia mencontohkan larangan merokok di beberapa tempat yang dirasa tidak mempertimbangkan kepentingan para pembayar pajak terbesar, yaitu para produsen dan konsumen tembakau.

Anggota Komisi IX DPR Yahya Zaini dalam diskusi itu mengkhawatirkan dampak peraturan baru Kementerian Kesehatan terhadap industri hasil tembakau (IHT). Ia menegaskan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada perusahaan besar, namun lebih signifikan mempengaruhi petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil yang jumlahnya mencapai sekitar 5-6 juta orang.

“Kita bukan membela industri besar, tapi memperjuangkan mereka yang kecil. Industri besar bisa beralih ke bisnis lain, sementara yang kecil akan kesulitan jika aturan ini diterapkan tanpa pertimbangan matang,” kata Yahya.

Ia juga menyoroti kenaikan cukai rokok setiap tahun yang memberatkan industri, meskipun sumbangan devisa negara dari cukai tembakau cukup besar, mencapai Rp213 triliun pada tahun 2023. Yahya mengkritik minimnya keterlibatan Kementerian Perindustrian dalam pembahasan peraturan terkait IHT, dan menyebut Kementerian Kesehatan terlalu dominan dalam mengatur sektor ini.

Lebih lanjut, Yahya menekankan pentingnya membangun opini publik yang seimbang terkait tembakau, melakukan lobi politik dengan pemangku kepentingan, serta mempertimbangkan jalur hukum seperti judicial review jika aturan yang memberatkan diterapkan.

“Saat ini, perlu ada keseimbangan opini di masyarakat. Kita juga harus melakukan lobi politik, terutama dengan pemangku kepentingan tingkat tinggi, agar nasib IHT tidak mati. Selain itu, kita bisa melakukan judicial review terhadap PP 28/2024 atau Permenkes yang akan keluar nanti,” tambahnya. 

Pembicara lain dalam diskusi itu anggota Komisi IX Nurhadi dan Nur Nadlifah, serta Sudarto AS (Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman SPSI) dan Fabianus Bernadi (Ketua Umum Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia/AMLI). (*)



Tags Kesehatan