Tiga Pasangan Bakal Calon di Pilkada Riau, Pengamat: Pemimpin Harapan nan Egaliter

Tiga Pasangan Bakal Calon di Pilkada Riau, Pengamat: Pemimpin Harapan nan Egaliter

Riaumandiri.co - Tiga bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau diantaranya Syamsuar-Mawardi Saleh, Nasir-Wardan, dan Abdul Wahid-SF Hariyanto resmi berlayar di Pilkada Riau mendatang, Minggu (1/9).

Masing-masing pasangan bakal calon telah mendapat perahunya untuk berlayar, diantaranya Syamsuar-Mawardi dengan pengusung Golkar dan PKS. 

Kemudian ada Nasir-Gerindra dengan 10 partai yakninya PAN, Demokrat, PPP, PSI, Gelora, Perindo, PBB, Garuda, dan Partai Buruh, dan ada Abdul Wahid-SF Hariyanto diusung PDIP dan PKB.


Pengamat politik FISIP UNRI, Saiman Pakpahan menilai ketiganya cocok jadi pemimpin harapan masyarakat Riau.

"Mereka cocok jadi pemimpin Riau ke depannya jika ditarik dari rekam jejak, kewilayahan," katanya. 

Hal tersebut didasarkan pada rekam jejak, kewilayahan untuk modal politik masing-masing calon. 

Menurut Pengamat itu, masing-masing balon mempunyai daerah basis pendukungnya, Syamsuar dengan basis Siak, Rokan Hilir dan daerah Pesisir, sedangkan Wardan-Abdul Wahid bentrok basis di Kabupaten Inhil, dan SF Hariyanto di Kota Pekanbaru lantaran merupakan putra asli daerah tersebut. 

"Modal politik untuk berkontestasi misalnya Syamsuar itu dulunya Bupati Siak, ini defisit politik jadi dia tak terpecah suaranya di Siak, Rokan Hilir dan Pesisir, kemudian terkait Nasir-Wardan suara Abdul Wahid dan Wardan jelas sama basisnya di Inhil, bakal terpecah seperti nya," katanya. 

Kemudian terkait kewilayahan, pasangan Nasir-Wardan, Wardan yang merupakan orang asli Tembilahan, sedangkan Nasir dari Sumatera Utara namun telah bersosialisasi dan mewakili aspirasi masyarakat Riau. 

Kemudian pasangan Abdul Wahid dan SF Hariyanto, Abdul Wahid merupakan putra asli Inhil sedangkan SF Hariyanto lahir di Kota Pekanbaru. 

Sedangkan Syamsuar merupakan putra asli Rokan Hilir (Rohil) dan Mawardi Saleh putra asli Kampar. 

Dari segi kewilayahan tersebut artinya masing-masing pasangan calon sudah dapat memahami permasalahan yang ada di Provinsi Riau itu sendiri. 

Rekam jejak masing-masing balon juga tak perlu diragukan lagi, Syamsuar pernah menjadi Bupati Siak, Gubernur satu periode, dan aktif di DPD Golkar dengan karir birokrasi mentereng.

Kemudian Mawardi Saleh yang merupakan sosok ustadz dan ulama tentunya ia memiliki segmentasi keagamaan, kebudayaan dan religiusitas.

"Modal politik masing-masing calon sudah ada yang pertama Syamsuar itu pernah jadi Bupati Siak, Gubernur satu periode, kemudian aktif di DPD Golkar, karir birokrasi nya cukup mentereng, diantaranya pernah jadi kepala desa, camat, dan kepala dinas, dia paham lingkup pemerintahan," kata Saiman.

"Satu lagi Cawagub nya buya Mawardi Saleh dia segmentasinya keagamaan, kebudayaan dan religiusitas," sambungnya.

Kemudian, Nasir dan Wardan merupakan Anggota DPR RI elektabilitas nya cukup untuk membawanya bertarung di kontestasi Pilkada nantinya.

Sedangkan Wardan, ia merupakan politisi sekaligus pernah jadi Bupati Inhil 2013-2023 dua periode, tentunya perpaduan politisi dan birokrasi cukup untuk bisa membawa Riau ke depannya.

"Nasir dia anggota DPR RI, elektabilitas tiga periodenya cukup modal secara politik bertarung untuk Pilkada Gubernur Riau, segmentasinya kelegislatifan dan partai, pada Wardan, dia meniti karir birokrasi, paham struktur birokrasi ada di dia, jadi ini suatu perpaduan politisi dan birokrasi," jelasnya.

Sedangkan Abdul Wahid merupakan suara legislatif terbanyak partai PKB, hal ini menjadi modal beliau untuk berkontestasi di Pilgubri, dan pengalaman birokrasi diisi wakilnya, SF Hariyanto yang pernah menjabat menjadi Pj Gubernur Riau.

"Kalau Wahid dia suara terbanyak di DPD partai PKB untuk DPR RI, kemudian pengalaman birokrasi diisi wakilnya, puncak karir nya pada Pj Gubernur yang kemudian meletakkan jabatan memperkuat bargaining posisi Wahid pada politisi, dan SF pada birokrasi," lanjut Saiman.

Terkait karakter kepemimpinan di Riau, menurut Saiman tidak cocok dipimpin oleh orang yang tegas. Lantaran Riau bukan merupakan daerah konflik. 

Menurutnya dibutuhkan seorang figur yang egaliter, dan mau turun langsung mendengarkan keluhan serta aspirasi masyarakat. 

"Kita tidak butuh pemimpin tegas berkarakter, karena masyarakat sipil Riau tidak ada yang pemberontak, tipikal kepemimpinan yang egaliter, mau turun ke bawah mendengarkan masyarakat nya," sebutnya.

Tipikal pemimpin selanjutnya di Riau yaitu tidak elitis, sederhana dan tidak ada sekat sekat sosial yang bisa menghambat masyarakat bertemu dengan pemimpinnya. 

"Setara, sederhana, tidak elitis itu maksudnya dia harus terhubung dengan masyarakat tanpa sekat sekat sosial," ujarnya. 

Soalnya saat ini pemimpin terutama pejabat pemerintah lebih terhalang protokoler dan administrasi yang membuat susah untuk langsung bertemu masyarakat.

"Setelah berkuasa sekat protokoler menghalangi, administrasi, sedangkan pada saat kampanye tidak ada protokoler, ini paradigma yang harus disampaikan ke Calon Gubernur untuk berikan ruang bebas masyarakat yang banyak," tegas Saiman.

Visi misi ketiga calon Gubernur dan Wakilnya juga diapresiasi Saiman, hal tersebut sesuai dengan Riau 5 tahun kedepan. 

Diantaranya pasangan Syamsuar-Mawardi dengan visi Riau Bermartabat dan Abdul Wahid-SF Hariyanto dengan visi Riau Bermarwah sedangkan Nasir-Wardan dengan visi Riau Emas.

"Itukan tagline yang harus di bangun dengan visi besar, seperti Riau Bermartabat Syamsuar, Riau Bermarwah Abdul Wahid dan Riau Emas Nasir, nah antara bermartabat dan Bermarwah itu singgungannya sama, kalau Riau Emas ini kan tujuannya ke Indonesia Emas 2045, seperti nya ia memproyeksikan SDM Indonesia berkualitas," kata Saiman.

"Kemudian bermartabat dan Bermarwah harus ada konsekuensi Riau Emas disitu terwujud, karena akan in line ketika Riau Emas terwujud berdampak ke martabat dan marwah Riau, semua visinya bagus," ungkapnya. 

Menurut Saiman, pengambilan keputusan seorang Gubernur maupun pemimpin kedepannya harus melibatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya. 

"Pengambilan keputusan merumuskan kebijakan publik harus melibatkan stakeholder partisipasi masyarakat, masyarakat maunya apa, itu yang dirumuskan, terkait bahasannya di DPR lantaran itu alat alat formal politik negara, di luar mekanisme itu kan ada serap aspirasi," katanya. 

Tiga calon Gubernur Riau tersebut juga dihadapkan pada pekerjaan rumah (PR) permasalahan Riau, diantaranya kasus korupsi yang pernah menjerat Gubernur sebelumnya. 

"Disitu pernah ada Gubernur Anas Ma'mun, Saleh Djasit yang pernah dijerat hukuman bui akibat korupsi, dan pada saat Syamsuar satu peroode bebas soal begituan, artinya Syamsuar tidak bermain main dengan korupsi, sehingga tidak menjadi objek hukum aparat dalam beberapa kasus yang ada di pemerintahan," katanya. 

Ia menegaskan agar kedepan Riau jangan sampai menjadi pembicaraan di tingkat nasional adalah rumah bagi koruptor. 

"Harapan kita tentu seluruh calon mempertahankan itu, satu periode atau kedepannya tanpa korupsi, kita tidak ingin Riau jadi pembicaraan, Riau rumah bagi koruptor, kita tidak ingin itu," tegasnya.

Permasalahan sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan juga menjadi PR bagi tiga cagub cawagub itu, menurutnya pemimpin siapapun kedepannya harus mendengarkan persis siapa kepemilikan lahan mereka, dan pengakuan hak minoritas masyarakat adat juga harus diberikan. 

"Siapapun nanti menjabat harus konsen terhadap ini, harus membereskan soal masalah agraria, soal kepemilikan lahan ilegal dan perhutanan sosial terutama mendengarkan masyarakat di akar rumput, mendengarkan persis kepemilikan lahan mereka, dan corong kapitalisme pemodal untuk mencerabut akar akar sumber daya alam (SDA) yang ada, pengakuan hak minoritas itu juga menjadi tanggung jawab negara, pemerintah harus berikan ruang bebas masyarakat untuk melakukan aktivisme sesuai norma," lanjutnya.