Politisi PKS Tolak Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor
RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama menolak kewajiban asuransi kendaraan bermotor. Apalagi hanya karena pendapat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang asal-asalan mengutip UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Alasan pertama, program asuransi wajib untuk kendaraan bermotor belum menjadi solusi komprehensif mengstasi permasalahan yang sesungguhnya. Penjelasan Pasal 39A UU P2SK secara gamblang menyebutkan bahwa Program Asuransi Wajib itu di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait salah satunya adalah kecelakaan lalu lintas.
"Artinya, tidak sekonyong-konyong kendaraan bermotor itu wajib asuransi, melainkan musababnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas. Jadi, apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, Pemerintah berharap kerugiannya dapat ditekan seminimal mungkin dengan asuransi," kata Suryadi, Minggu (21/7/2024).
Oleh karena itu, kata dia, dapat dikatakan bahwa Program Asuransi Wajib untuk kendaraan bermotor tersebut merupakan tindakan kuratif dan rehabilitatif jika terjadi kecelakaan lalu lintas, tapi belum mencakup tindakan promotif dan preventifnya.
"Jika memang Pemerintah benar-benar serius mencari solusi atas kecelakaan lalu lintas secara komprehensif, seharusnya jangan asal bunyi asuransi wajib bagi kendaraan, melainkan juga merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)," jelasnya.
Revisi UU LLAJ telah lama dibahas di Komisi V, tapi Baleg (Badan Legislasi) DPR menghapusnya begitu saja dari Prolegnas Prioritas 2023. Padahal RUU ini telah mendapatkan berbagai masukan dari para pakar transportasi, praktisi dan beberapa asosiasi.
Fraksinya berharap agar revisi UU LLAJ dapat dibahas kembali melalui usulan Pemerintah agar kecelakaan lalu lintas dapat dicarikan solusinya secara komprehensif, bukan dengan gampangnya membebani masyarakat dengan asuransi, apalagi alasannya karena praktik asuransi wajib ini sudah berlaku di berbagai negara lain.
Dia mencontohkam di Korea Selatan, asuransi menjadi bagian dari solusi yang komprehensif dari permasalahan lalu lintas. Misalkan truk ODOL (Over Dimension Over Load) tidak berlaku asuransinya karena biasanya truk semacam itu melibatkan modifikasi ilegal.
Alasan kedua, untuk membayar pajak kendaraan bermotor (PKB) saja masyarakat masih banyak yang menunggak. Data Korlantas Polri tahun 2022, sebanyak 50% kendaraan bermotor di Indonesia masih mempunyai tunggakan PKB dengan nilai mencapai Rp100 triliun. Persoalannya bisa jadi karena mekanisme membayar pajaknya tidak efektif atau memang masyarakat tak sanggup dengan beban biayanya.
"Premi asuransi kendaraan bermotor akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Karena kendaraan dalam masyarakat bukan hanya berfungsi untuk alat transportasi tapi juga alat produksi. Sebagai alat produksi, jelas tambahan beban ini berpotensi akan merembet kepada kenaikan harga berbagai barang jasa," katanya.
Alasan ketiga, asuransi wajib bagi kendaraan tersebut baru berlaku setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang harus mendapatkan persetujuan terlebih dulu dari DPR, seperti tercantum dalam Pasal 39A UU P2SK ayat (4).
"Oleh karena itu, jika ternyata kewajiban asuransi bagi kendaraan tersebut mendapatkan penolakan keras dari masyarakat sehingga PP-nya tidak disetujui oleh DPR, maka Pemerintah tidak boleh memberlakukan asuransi tersebut," katanya.
Seperti diketahui, Pemerintah akan mewajibkan kendaraan bermotor mengikuti asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025. Ketentuan tersebut berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) Pasal 39A.
Pada pasal tersebut ayat (1), disebutkan bahwa Pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan.
Pada ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa Pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib tersebut dan membayar Preminya.
Sedangkan pada Pasal 339 ayat (1), disebutkan bahwa peraturan pelaksanaan dari UU ini ditetapkan paling lama 2 tahun terhitung sejak UU ini diundangkan, atau pada Januari 2025 nanti. (*)