Forum Peer Teaching Soroti Ketimpangan Hak Perempuan
RIAUMANDIRI.CO - Forum Peer Teaching yang diadakan Sahabat Puan dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau membahas buku yang berjudul 'Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial' pada Rabu (10/7/2024) sore.
Buku yang ditulis oleh Prof Saparinah Saidi yang cetak pada tahun 1977 tersebut, membahas terkait hak perempuan dalam dunia kerja maupun rumah tangga.
Seperti yang kita ketahui, budaya patriarki saat ini marak terjadi, dimana laki-laki sangat mendominasi dalam rumah tangga.
Menurut Manajer Pengembangan Program dan Kajian Walhi Riau, Umi Marifah menyatakan saat ini perempuan sering dibedakan terutama dalam upah tunjangan kerja.
"Kalau di perusahaan itu pasti upah laki-laki lebih besar, kenapa terjadi? karena posisi perempuan dianggap lebih rendah," kata Umi.
Umi menyebut perempuan banyak mengalami ketidakadilan dan posisinya termarginalkan.
"Dia itu berada pada posisi dipinggirkan, dikucilkan, karena identitasnya sebagai perempuan, domestifikasi secara historis ada kaitannya dengan Perang Dunia II, ketika perempuan itu terkait pekerjaan rumah sedangkan laki-laki pergi berperang," sebut Umi.
Inisiator Sahabat Puan, Tika menyebut saat ini perusahaan masih melihat penampilan sebagai syarat diterima nya calon karyawan
"Banyak ruang perempuan itu direnggut, misalnya perempuan harus diterima pekerjaan sektor tertentu dari penampilan," kata Tika.
Secara sederhana, domestikasi perempuan sendiri merupakan pengiburumahtanggaan yang mana suatu paham menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan kerumahtanggaan saja. Diskusi mengenai perempuan memang tak terlihat ujungnya, batasan peran telah menciptakan ketimpangan gender.
Seharusnya laki-laki juga ikut serta dalam mengurus rumah tangga, dan membantu istri dalam merawat tumbuh kembang anak.
Forum sepakat Adanya gerakan kolektif atau ‘perkumpulan’ perempuan dapat menambah rasa percaya diri dan berdaya untuk melawan isu pelecehan seksual.
Gerakan tersebut dapat diberdayakan untuk mendorong terciptanya lingkungan kerja yang inklusif dan minim kesenjangan. Pengajuan permintaan untuk adanya kebijakan tempat kerja yang ramah perempuan, pemberlakuan sistem punishment untuk pelaku pelecehan, dan adanya sosialisasi sehubungan kesetaraan gender dapat dilakukan oleh perempuan secara kolektif.
Selain itu, ruang aman berbasis gerakan kolektif perempuan diharapkan dapat mendampingi penyintas untuk mendapatkan perlindungan, pendampingan psikologis, dan rasa aman untuk kembali bekerja.
Kegiatan ini dilanjutkan dengan pembahasan tema lainnya dengan beberapa pertemuan. Diskusi dilakukan di Jembatan Kupu-Kupu dengan santai dan saling memberi tanggapan.