Buka Tutup Impor Tunjukkan Pemerintah Tak Kuat Hadapi Tekanan Importir
RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mempertanyakan kebijakan buka tutup impor yang dilakukan pemerintah. Kebijakan tersebut memberikan ketidakpastian pada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia.
“Hal ini sebetulnya sudah menjadi catatan investor sejak lama, karena aturan sering berubah-ubah. Padahal Indonesia sedang gencar-gencarnya mendorong peningkatan investasi dan mendorong ekspor,” kata Gobel dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/5/2024).
Belum lama ini pemerintah diketahui melakukan pengetatan aturan impor melalui Permendag No. 7/2024 yang ditandatangani pada 10 Maret 2024 dan mulai berlaku 6 Mei 2024. Permendag itu merupakan perubahan kedua atas Permendag No. 36/2023 yang direvisi melalui Permendag No. 3/2024. Permendag No. 7/2024 merupakan regulasi yang memperketat persyaratan impor yang harus menyertakan pertimbangan teknis (Pertek).
Pengetatan tersebut bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri dan melindungi investasi di Indonesia. Namun pada Jumat 17 Mei 2024, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa pemerintah merevisi aturan itu melalui Permendag No. 8/2024 yang menghapus persyaratan Pertek untuk sejumlah barang seperti elektronik, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, tas, dan katup. Permendag tersebut langsung berlaku pada hari itu juga.
Alasan revisi tersebut, diketahui karena terjadi penumpukan barang sebanyak 17.304 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Sehingga Permendag yang baru diharapkan dapat menjadi solusi dari penumpukan barang yang harus bisa diselesaikan dalam waktu lima hari.
Gobel mengingatkan bahwa dunia sedang dihadapkan pada ketidakpastian akibat geopolitik dan persaingan yang ketat antarnegara dalam menarik investor. Sehingga, jangan sampai kebijakan buka-tutup impor tersebut menambah ketidakpastian investor.
Gobel mengatakan, kendornya ketentuan impor bisa mematikan industri dalam negeri. Bahkan dalam beberapa tahun ini, katanya, impor tekstil bermotif kain tradisional seperti batik, tenun, dan lain-lain bisa mematikan industri kain tradisional Indonesia. Hal itu juga terjadi di mebel dan handicraft Indonesia.
“Pemerintah harus bisa memilah, untuk produk yang sudah dibuat di dalam negeri harus ada perlindungan. Buka-tutup kebijakan impor ini menunjukkan pemerintah tak kuat menghadapi tekanan importir. Ini benar-benar merusak pasar dan iklim berusaha yang sehat,” kata Gobel.
Menurutnya, peraturan yang sudah baik semestinya harus dilanjutkan. Ia menilai Permendag No. 8/2024 tidak melindungi industri dalam negeri dan sangat tidak melindungi para investor yang datang ke Indonesia.
Padahal, kata dia, aturan pengetatan impor merupakan arahan dari Presiden Joko Widodo karena terjadi defisit neraca perdagangan yang besar. Karena itu, presiden memberikan arahan agar untuk sejumlah barang yang sudah diproduksi di dalam negeri agar ada pengetatan impor dengan menambahkan syarat Pertek dalam melakukan impor.
Pengetatan impor, imbuhnya, menunjukkan pemerintah lebih mengutamakan produk dalam negeri dan melindungi tenaga kerja Indonesia. Namun kini, katanya, kebijakan tersebut dicabut lagi untuk produk-produk yang justru merupakan hasil industri yang menyerap tenaga kerja yang besar dan sebagian bahkan diproduksi oleh industri berskala UMKM dan rumahan.
Gobel mengingatkan, akibat serbuan impor tersebut, tidak hanya berdampak pada defisit neraca perdagangan tapi juga membuat sejumlah industri gulung tikar. “Seperti industri tekstil dan industri garmen. Ini sangat menyedihkan. Ada pengusaha yang bangkrut dan ada tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan,” katanya.(*)