Pemerintah Perlu Kaji Ulang Pencabutan Status Bandara Internasional
RIAUMANDIRI.CO - Kementerian Perhubungan melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 31 Tahun 2024 telah mencabut status internasional 17 bandara karena dianggap sepi dan menggerus devisa negara lantaran banyak masyarakat yang pergi ke luar negeri. Alasan lain pemangkasan itu untuk meningkatkan gairah pariwisata, terutama mendorong masyarakat berlibur di dalam negeri.
Keputusan ini banyak menuai protes dari masyarakat karena tidak semua warga yang pergi ke luar negeri adalah untuk berwisata. Banyak juga warga yang ke luar negeri karena keperluan berobat, bisnis dan pekerjaan.
Dengan adanya bandara internasional yang dekat dengan warga tentu mempermudah mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Khususnya yang terkait pengobatan, dimana fasilitas kesehatan belum merata di seluruh Indonesia.
Misalkan Bandara Supadio di Pontianak dengan status internasional mempermudah warga Kalimantan Barat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di Kuching, Sarawak, Malaysia yang lebih dekat dan dianggap lebih memberikan kepastian dalam hal diagnosis penyakit. Sedangkan jika harus ke Jakarta, biaya penerbangan menjadi lebih mahal.
"Kita menyayangkan dengan adanya keputusan tersebut. Seharusnya, Pemerintah melakukan komunikasi dengan stakeholder terkait untuk mencari solusi bersama terlebih dahulu. Sebab bandara-bandara yang sekarang sudah tidak lagi berstatus internasional itu, dulu dibangun menggunakan APBN dengan tujuan untuk mendatangkan wisatawan mancanegara langsung ke daerah tujuan. Sehingga pencabutan yang tiba-tiba dan tanpa kajian yang komprehensif ini bagai mengulang kesalahan yang sama seperti saat membangunnya yang juga tidak disertai kajian yang komprehensif," kata anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama, Selasa (30/4/2024).
Dia mencermati adanya ketidakkonsistenan pemerintah dalam hal alasan pariwisata sehingga menurunkan status bandara internasional yang sudah ada menjadi bandara domestik.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional pada Pasal 39 malah menghilangkan syarat kajian potensi wisatawan mancanegara yang menggunakan angkutan penerbangan paling sedikit 100.000 orang per tahun.
"Oleh karena itu kita minta Keputusan Menteri Perhubungan No 31 tahun 2004 agar dikaji ulang, dengan melibatkan stakeholder seperti maskapai, pemerintah daerah dan masyarakat pengguna bandara, tidak hanya dengan menteri yang membidangi pertahanan keamanan dan menteri yang membidangi urusan kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan seperti yang disebutkan pada Pasal 40 PM 39/2019," kata dia.
Pemerintah pusat juga harus memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mempertahankan status bandara internasionalnya, seperti yang terjadi pada Bandara Internasional Minangkabau (BIM). Jangan lantas menerima begitu saja diturunkan statusnya menjadi bandara domestik.
"Untuk meningkatkan utilitas bandara internasional di daerah, kami mendorong agar daya tarik wisata ataupun ekonomi lainnya diperkuat. Termasuk juga ditingkatkannya pelayanan kesehatan di daerah seperti di Kalimantan Barat, bukannya diturunkan statusnya menjadi bandara domestik," katanya. (*)