Lindungi Masyarakat Adat
Kepedulian pemerintah terhadap masyarakat adat akan ditandai dengan pembentukan satuan tugas (satgas) nasional pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Hal ini dikemukakan Jaleswari Pramodhawardhani, staf khusus Menteri Sekretaris Kabinet pada 10 Maret 2015, saat konferensi pers “Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara” dan peluncuran roadshow film Siapa Lagi Kalau Bukan Kita di Jakarta. Jaleswari mengungkapkan anggota satgas nantinya dipilih dari kalangan pemerhati yang lama berkecimpung dalam isu masyarakat adat.
Kepedulian dari pemerintah ini patut diacungi jempol, karena selama ini terkesan adanya ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat adat. Hal ini terlihat dari negara yang masih belum mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Hal itu, antara lain ditandai gagalnya DPR periode 2009-2014 untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat men.jadi undang-undang (UU).
Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Abdon Nababan, pernah mengutarakan hal ini dalam acara "Catatan Akhir Tahun dan Peluncuran Peta Wilayah Adat" di Jakarta, pada 22 Desember 2014. Abdon menjelaskan sudah sembilan orang masyarakat adat yang ditangkap, diadili, dan dihukum. Terkait kebijakan satu peta, AMAN sudah memetakan 10 juta hektare (ha) wilayah adat dan menyerahkan peta lahan 4,8 juta ha kepada Badan Pelaksana Reduksi Emisi dan Deforestasi dan Degradasi Plus (BP REDD+) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menjamin seluruh komitmen BP REDD+ terkait masyarakat adat diambil alih Kementerian LHK.
Mari kita menengok penyusunan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat yang pernah disiapkan Badan Legislasi (Baleg) DPR periode lalu. RUU ini merupakan hak usul inisiatif Baleg dan masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional RUU Prioritas pada 2012. Hal ini merupakan suatu pengharapan bagi masyarakat adat di Indonesia yang sedang diperjuangkan kelompok AMAN dengan gigihnya di parlemen.
Harapannya, anggota masyarakat adat akan diberikan suatu hak untuk memiliki dan menguasai tanah adatnya yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Sebenarnya, sebab utama kekisruhan masalah hukum tanah adat masyarakat atau hukum tanah ulayat adalah tidak atau belum diakui oleh pemerintah dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yaitu legalitas kepemilikan tanah dan hutan adat rakyat (Bungaran Antonius Simanjuntak, (ed), 2013).
Kearifan Lokal
Berbicara mengenai masyarakat adat, tentu tak boleh dilupakan tentang kearifan lokal. Kearifan lokal itu sendiri berasal dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Kearifan lokal disebutkan juga dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara umum, kearifan lokal sebagai kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Jadi di sini, kearifan lokal dapat disebut lembaga adat atau lembaga budaya.
Kearifan lokal terbentuk sebagai suatu keunggulan budaya masyarakat setempat. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang sampai kini masih patut dijadikan pandangan hidup. Meskipun sesuatu yang bernilai lokal tidak semuanya sesuai budaya nasional, akan tetapi nilai yang terkandung di dalamnya kadang bernilai universal.
Budaya lokal sering mengandung banyak tafsir, seiring dengan terjadinya perbedaan mengenai batasan kebudayaan, itu sendiri. Kebudayaan lokal berarti setiap ide (nilai-nilai, norma-norma, gagasan), aktivitas, dan hasil aktivitas dari kelompok manusia di suatu tempat atau daerah tertentu. Perangkat nilai atau sistem nilai dari suatu kelompok masyarakat lokal tidak dapat diketahui karena ia berada dan berupa “peta kognitif” pendukung suatu kebudayaan. Kebudayaan hanya dapat diketahui dalam wujud pepatah atau bentuk aktivitas manusia.
Nilai-nilai lokal ini disebut juga dengan kearifan lokal yang terdapat pada setiap suku bangsa di dunia, termasuk yang berada di Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan rukun antar manusia atau antarkelompok dapat dicontohkan di suatu daerah tertentu. Misalnya, di Maluku dikenal adanya pela gandong sebagai suatu nilai lokal yang mengajarkan agar masyarakat hidup berdampingan atau adanya toleransi antaragama dan antarsuku bangsa.
Nilai-nilai budaya lokal seperti ini tidak hanya berarti berorientasi kepada nilai-nilai warisan nenek moyang masa lalu yang dianggap kuno, akan tetapi juga dapat berupa nilai-nilai yang sedang tumbuh di tengah-tengah kehidupan masyarakat saat ini. Dan tidak kalah pentingnya adalah nilai-nilai itu dapat dijadikan rujukan dan kesepakatan bersama dari anggota masyarakat setempat untuk dijadikan pegangan bersama tanpa mengeyampingkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Setiap budaya lokal mempunyai fungsi, setidaknya ada empat fungsi, yaitu sebagai wadah cross-cutting, acuan moral bersama, kontrol sosial, dan sebagai garansi dan asuransi sosial. Pertama, budaya lokal sebagai wadah titik temu anggota masyarakat dari berbagai latar belakang seperti status sosial, suku, agama, ideologi, dan politik. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai “upacara selamatan” yang masih terus berkembang di tengah arus modernisasi, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kedua, budaya lokal seperti halnya lembaga adat dan tradisi dapat juga berfungsi sebagai norma-norma sosial yang memiliki pengaruh signifikan dalam mengatur sikap dan perilaku masyarakat.
Ketiga, budaya ini juga memiliki fungsi sebagai pengontrol sosial dari setiap anggota masyarakat. Misalnya, tradisi bersih desa bukan sekadar sebagai kegiatan yang bersifat gotong royong dan menjaga lingkungan hidup serta memiliki makna bersih dosa pada setiap anggota masyarakat setempat.
Keempat, budaya dapat berfungsi sebagai penjamin anggota pendukung budaya tersebut. Pemaknaan budaya lokal itu penting, karena pada era globalisasi saat ini kontak antarbudaya pasti terjadi, sehingga dimungkinkan terjadinya saling akomodatif dan yang kemudian adanya akulturasi budaya.
Setiap daerah memiliki karakter yang berbeda dengan daerah lain, atau dengan kata lain suatu daerah mempunyai kekhasan atau karakteristik tertentu. Jika dilihat dari wilayah Nusantara kita yang terdiri dari tujuh belasan ribuan pulau besar dan kecil, maka adanya kekurangan dan kelemahan yang dimiliki merupakan suatu karakter yang sebenarnya merupakan suatu kekayaan bangsa Indonesia yang pluralistis.
Karakter itu muncul sebagai suatu identitas yang digunakan sebagai sistem yang menjelaskan pola kehidupan masyarakat. Identitas seperti ini biasanya digunakan sebagai pembeda dengan kelompok lainnya. Akhirnya, identitas itu pula yang melihat suatu tingkat perkembangan dari suatu suku bangsa, kelompok, dan bangsa itu dapat dilihat dan dikembangkan. Nilai yang terkandung dalam karakter tersebut pada suatu masyarakat, boleh jadi bertolak belakang dengan karakter di tempat lainnya. Oleh karena itu, acuan utamanya adanya kenyamanan dan ketenteraman yang dirasakan masyarakat atas kepemimpinan elitenya yang kadang lepas kontrol, dan kadang mengeyampingkan norma-norma hukum yang berlaku.
Kedua lembaga ini kadang sebenarnya eksistensinya masih diakui. Hanya saja setelah reformasi bergulir pada tahun 1998, demokratisasi yang melanda Indonesia sangat cepat, sehingga tuntutan dari masyarakat begitu tinggi terhadap kedua lembaga ini. Pemberdayaan dan optimalisasi terhadap kinerja kedua lembaga sangat diperlukan, mengingat pencegahan konflik pertanahan sangat urgen untuk dilakukan. Peran dari kedua lembaga ini dapat ditingkatkan dan disinergiskan dengan lembaga-lembaga terkait lainnya, sehingga dapat mendeteksi secara dini jika terjadi konflik pertanahan di suatu daerah.
Oleh karena itu, di masa mendatang perlu dilakukan penguatan peran dan fungsi lembaga agama dan lembaga adat. Adanya perhatian khusus kepada lembaga adat yang dipandang sebagai bentuk kearifan lokal harus didorong untuk berpartisipasi guna meminimalisasi konflik pertanahan yang kerap terjadi di masyarakat. Hal ini berguna untuk mengantisipasi secara dini agar konflik pertanahan dapat diatasi dengan cepat dan tepat, sehingga tidak berlarut-larut yang merugikan masyarakat luas.
Kearifan lokal dapat dimanfaatkan secara tepat dan cepat untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang sering kali terjadi di negeri multietnik ini. Akan tetapi yang harus diingat, pemilihan kearifan lokal yang akan dipilih, yaitu lembaga adat harus tetap memperhatikan dengan nilai-nilai budaya nasional demi tetap terjaminnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konflik yang menyangkut tanah-tanah adat yang bertebaran di seluruh Tanah Air kiranya dapat terselesaikan dan memuaskan masyarakat adat, yang selama ini merasa diabaikan oleh negara. Semoga. (bsc)
Oleh: Djoko Sulistyono(Penulis lepas).