Pesan dari Isra Mikraj
Isra dan Mikraj merupakan safari rohani yang dilakukan Muhammad atas perintah Allah. Dua perjalanan ini dilakukan secara horizontal dan vertikal. Pertama, Isra adalah perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalem. Dua tempat tersebut memiliki hubungan ideologis bagi umat Islam. Masjid al-Aqsa adalah kiblat pertama kaum Muslim sebelum Allah perintahkan pemindahannya ke Makkah. Islam juga memandangnya sebagai tempat bersejarah karena mengimani Abrahamic Faith. Kedua, Mikraj merupakan perjalanan Nabi secara vertikal dari bumi menuju ke langit ketujuh dan Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat.
Hingga saat ini, peristiwa Isra Mikraj ini masih saja hangat diperbincangkan oleh pakar Muslim kontemporer. Perjalanan spiritual yang dilakukan Nabi ini selalu menuai kontroversi karena memang sulit dijelaskannya. Sebagian mengatakan perjalanan dilakukan Nabi secara fisik. Sebagian berpendapat hanya penglihatan saja. Ada yang mengatakan ruh saja. Ada pula yang berargumen hanya mimpi. Namun, terlepas dari perdebatan teologis di atas, dalam konteks spiritual imaniah, mayoritas pemeluk agama Islam tidak ambil pusing karena meyakini bahwa apa yang difirmankan Allah dalam Alquran adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa ditawar. Allah menggambarkan peristiwa ini dalam surah al-Isra' ayat 1.
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Sikap serupa juga telah dilakukan Abu Bakar ketika ditanya mengenai kebenaran Isra Mi'raj Nabi. Ia membenarkannya karena Nabi sendiri yang bercerita. Oleh sebab itu, ia diberi gelar as-Siddiq (yang membenarkan). Tentunya bukan hal yang mudah baginya meyakini peristiwa di luar nalar manusia. Tetapi, kejujuran dan sikap Nabi telah menghilangkan keragu-raguannya. Sehingga, tanpa berpikir panjang, ia sangat yakin kebenaran dari perjalanan spiritual Nabi.
Penulis tidak akan banyak berbicara mengenai kronologis Isra dan Mikraj karena sudah banyak dibahas oleh para dai yang meramaikan panggung pengajian di berbagai majelis taklim. Topik perjalanan Isra Mikraj seakan sudah menjadi ramuan wajib dari dakwah kepada masyarakat.
Maka, pembahasannya adalah tentang pertanyaan, mengapa Isra Mikraj terjadi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kiranya merujuk pada surah al-lsra' ayat 78. Ayat tersebut menerangkan bahwa substansi dari Mikraj adalah penerimaan mandat melaksanakan salat lima waktu.
Salat menjadi ibadah yang sangat bermakna. Ia merupakan faktor terpenting dari tegaknya bangunan agama Islam. Begitu tinggi nilai dari ibadah salat, Allah memberikanya tempat khusus dibandingkan amalan ibadah selainnya. Dalam kamus al-Muhith, doa bermakna ar-Raghbah ila Allah yang berarti rasa cinta kepada Allah. Di dalam Alquran, doa ditulis sebanyak 213 kali dalam 55 surat. Secara umum, ada dua dimensi kandungan makna salat, yaitu dimensi individual dan dimensi sosial.
Salat yang secara bahasa bermakna doa adalah bentuk komunikasi 'abd (seorang hamba) kepada Tuhannya. Dalam pandangan ushul dan fiqh, doa adalah manifestasi dari sebuah permintaan dan permohonan. Maka, salat sejatinya adalah hubungan diaologis dan komunikatif. Sedangkan, bagi kalangan sufi, shalat adalah perjumpaan terindah antara hamba dan Penciptanya. Tidak ada pertemuan melebihi keindahan bertemu dengan Sang Kekasih. Maka, saat perjumpaan terjadi, tidak ada alasan untuk sibuk memikirkan urusan selain apa yang dibahas dalam perjumpaan itu.
Salat yang berdimensi sosial merujuk pada QS al-Ankabut ayat 45, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya, shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa orientasi salat adalah membawa pelakunya tercegah dari kemungkinan berbuat jahat dan keji. Salat memberikan kekuatan untuk enggan berbuat hal yang merugikan orang lain. Salat menyentuh pada dimensi ruhani dengan memberikan pengaruh positif sehingga dapat memperbaiki tingkah laku dan meluruskan akhlaknya. Ini sejatinya revolusi mental. Salat bisa dijadikan sebagai media untuk merevolusi mental. Semua akan menjadi baik dengan salat.
Adapun perilaku tercela dan merugikan orang lain yang masih melekat pada diri merupakan tanda bahwa ada yang tidak sempurna dari shalat yang dikerjakan.
Perilaku jahat yang marak di bangsa ini, seperti korupsi, seks bebas remaja, prostitusi, begal, dan miras bisa jadi mewabah akibat shalat yang dilakukan tidak benar dan baik. Sehingga, pengaruh magisnya tidak menyentuh nurani dan tidak merevolusi moral. (rol)
Oleh: Ayis Mukholik - Mahasiswa Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.