Pakistan Kecam Putusan Mahkamah Agung India
Riaumandiri.co - Pakistan dengan tegas menolak keputusan hakim Mahkamah Agung India tentang pencabutan status khusus Jammu dan Kashmir. Menurut Pakistan, disposisi terakhir dari Jammu dan Kashmir harus dibuat sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan dan sesuai dengan aspirasi rakyat Kashmir.
"India tidak berhak mengambil keputusan sepihak mengenai status wilayah yang disengketakan ini yang bertentangan dengan keinginan rakyat Kashmir dan Pakistan," demikian pernyataan Kedutaan Besar Pakistan di Jakarta, dalam siaran pers, Rabu (13/12).
Pakistan tidak mengakui supremasi Konstitusi India atas Jammu dan Kashmir. Proses apa pun di bawah Konstitusi India tidak membawa hukum signifikansi. India tidak dapat melepaskan kewajiban internasionalnya dengan dalih peraturan domestik dan putusan pengadilan.
Kedutaan Pakistan mengatakan, dukungan hukum terhadap tindakan sepihak dan ilegal yang dilakukan India pada 5 Agustus 2019 merupakan sebuah parodi keadilan, berdasarkan argumen sejarah dan hukum yang menyimpang. Putusan Mahkamah Agung India gagal mengakui pengakuan internasional atas Jammu dan Kashmir yang disengketakan.
"Putusan tersebut gagal untuk memenuhi kebutuhan aspirasi masyarakat Kashmir, yang telah menolak tindakan ilegal dan tindakan sepihak India," demikian pernyataan Kedutaan Besar Pakistan.
Kedutaan Pakistan mengatakan, tindakan sepihak dan ilegal yang dilakukan India sejak 5 Agustus 201 ini ditujukan untuk mengubah struktur demografis dan lanskap politik Jammu dan Kashmir secara mencolok. Keputusan Mahkamah Agung India merupakan pelanggaran hukum internasional dan Resolusi Dewan Keamanan PBB, khususnya Resolusi 122 (1957).
"Hal ini tetap menjadi perhatian serius bagi Pakistan karena tujuan utama mereka adalah mengubah masyarakat Kashmir menjadi komunitas yang tidak berdaya di tanah mereka sendiri. Langkah-langkah ini harus dibatalkan untuk menciptakan lingkungan perdamaian dan dialog," ujar Kedutaan Pakistan.
Pakistan akan terus memperluas pengaruh politiknya secara penuh, termasuk dukungan diplomatik dan moral kepada Jammu dan Kashmir untuk mewujudkan hak mereka dalam menentukan nasib sendiri. Mahkamah Agung India menguatkan keputusan pemerintah untuk mencabut status khusus negara bagian Jammu dan Kashmir. Putusan Mahkamah Agung pada Senin (11/12) juga memerintahkan wilayah tersebut untuk mengadakan pemilihan kepala daerah pada 30 September 2024.
Keputusan tersebut dipandang oleh para kritikus sebagai langkah Partai Bhartiya Janata (BJP) yang berkuasa untuk menekan satu-satunya wilayah mayoritas Muslim di India. Jammu dan Kashmir ditetapkan sebagai wilayah otonomi khusus berdasarkan Pasal 370 konstitusi India, yang diberikan pada 1947 setelah perang India-Pakistan pertama atas wilayah Himalaya tersebut. Namun, pada 2019, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mencabut pasal tersebut.
Sejak Agustus tahun ini, pengadilan tinggi India telah mendengarkan sejumlah petisi yang menentang pencabutan status khusus wilayah Jammu dan Kashmir pada Senin, panel yang terdiri dari lima hakim dengan suara bulat memutuskan untuk menguatkan keputusan Modi dan membenarkan klaim bahwa status khusus untuk Jammu dan Kashmir hanya bersifat sementara.
“Pasal 370 merupakan pengaturan sementara karena kondisi perang di negara bagian tersebut. Bacaan tekstual juga menunjukkan bahwa itu adalah ketentuan sementara," kata Ketua Hakim DY Chandrachud, dilaporkan Aljazirah.
Wilayah Jammu dan Kashmir telah menjadi pusat permusuhan antara India dan Pakistan selama lebih dari 75 tahun sejak kedua negara tersebut merdeka dari kekuasaan Inggris pada 1947. Dua tahun kemudian, Pasal 370 konstitusi India mulai berlaku. Pasal 370 menjadi dasar aksesi Jammu dan Kashmir ke dalam persatuan India. Hal ini memberikan otonomi kepada daerah tersebut untuk membuat undang-undang sendiri dalam segala hal kecuali keuangan, pertahanan, urusan luar negeri, dan komunikasi.
Pencabutan Pasal 370 yang dilakukan Modi membagi wilayah tersebut menjadi dua wilayah federal, yaitu Ladakh dan Jammu-Kashmir. Kedua wilayah itu diperintah langsung oleh pemerintah pusat, tanpa badan legislatif sendiri.
“Ini merupakan tindakan yang merugikan pemilih mayoritas Hindu di India,” kata Ajai Shukla, seorang analis pertahanan di New Delhi kepada Aljazirah setelah keputusan pemerintah India pada 2019.
“Ada polarisasi politik di sini, di mana partai berkuasa berusaha menjadi calo bagi bank suara Hindu dan partai apa pun yang dianggap anti-Muslim. Bagi pemerintah, ini adalah langkah yang telah dijanjikan dan kini telah dilaksanakan," ujar Shukla.
Modi menyebut putusan Mahkamah Agung sebagai mercusuar harapan, dan janji masa depan yang lebih cerah. “Ini adalah deklarasi harapan, kemajuan dan persatuan bagi saudara dan saudari kita di Jammu, Kashmir dan Ladakh,” kata Modi.
Partai-partai politik di Kashmir yang menentang pencabutan status khusus tersebut menyatakan kekecewaan atas putusan Mahkamah Agung. Mereka sebelumnya juga ikut mengajukan gugatan ke pengadilan.
"Kami kecewa, tapi tidak berkecil hati,” ujar Omar Abdullah, mantan ketua menteri dan wakil presiden partai Konferensi Nasional Jammu & Kashmir.
"Perjuangan akan terus berlanjut. BJP membutuhkan waktu puluhan tahun untuk sampai ke sini. Kami juga bersiap untuk jangka panjang," kata Abdullah.
Mehbooba Mufti, mantan ketua menteri dan presiden Partai Demokrat Rakyat Jammu dan Kashmir, juga memiliki pandangan yang sama. “Orang-orang Jammu dan Kashmir tidak akan putus asa atau menyerah. Perjuangan kami untuk kehormatan dan martabat akan terus berlanjut. Ini bukanlah akhir dari perjalanan kami,” ujarnya.
Wilayah Kashmir terbagi antara India, yang menguasai Lembah Kashmir yang berpenduduk padat dan wilayah Jammu yang didominasi Hindu. Sementara Pakistan menguasai sebagian wilayah di barat dan Cina menguasai wilayah dataran tinggi yang berpenduduk sedikit di utara.