Mulyanto Minta Presiden Jokowi Tak Gegabah Perpanjang Izin Freeport
RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak gegabah memperpanjang izin pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI).
Menurutnya, izin pertambangan PTFI masih lama karena sebelumnya mendapat perpanjangan izin selama 2x10 tahun dan baru habis pada tahun 2041. Tahap pertama sampai tahun 2031.
Menurut Undang-Undang, harusnya perpanjangan izin tersebut baru dapat dilakukan paling cepat pada tahun 2026. Karena ketentuannya, perpanjangan izin paling cepat diajukan 5 tahun sebelum izin tersebut berakhir dan paling lama satu tahun sebelum izin tersebut berakhir, yakni tahun 2030.
"Karena itu waktu untuk perpanjangan izin tersebut masih cukup lama, sehingga tidak perlu terburu-buru. Biarlah ini diurus oleh Pemerintahan yang akan datang agar lebih optimal. Sehingga tidak ada kesan untuk mengejar Pemilu atau “deal-dealan” untuk biaya kampanye," ujar Mulyanto, Kamis (16/11/2023).
Mulyanto menambahkan terkait pengusahaan tambang SDA ini Indonesia harus semakin dominan. Hal tersebut merupakan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengusahaan oleh pihak asing dimungkinkan hanya karena keterbatasan dana, SDM dan teknologi. Tapi kalau semua kebutuhan tersebut mampu dipenuhi sendiri, maka bangsa ini wajib mengusahakannya secara mandiri.
"Sudah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka semestinya kita mampu mengelola bisnis ekstraksi SDA seperti ini secara lebih mandiri. Di bidang Migas, sekarang ini Pertamina sudah dominan menguasai lebih dari 60 persen. Tentunya harusnya demikian pula untuk komoditas tembaga, emas, nikel dll," tegas Mulyanto.
Mulyanto menyebut posisi tawar Pemerintah sebagai pemberi izin sangat kuat, termasuk bila ingin memberikan persyaratan lain untuk perpanjangan izin bagi Freeport ini, termasuk syarat berupa tambahan saham nasional tersebut.
Dengan tambahan saham 10 persen maka kepemilikan nasional atas Freeport akan menjadi semakin dominan (61 persen) dan otomatis Indonesia menjadi pengendali dalam konsolidasi operasi dan keuangan.
Namun sebagai pengendali tentu saja implementasinya harus bijaksana dan profesional, harus mengikuti kaidah-kaidah bisnis dan teknologis yang baku, agar perusahaan ini semakin untung dan maju, yang akhirnya benar-benar dapat menyejahterakan rakyat, terutama rakyat Papua.
"Jangan sampai BUMN dijadikan sebagai sapi perah secara politis, seperti keluhan yang sering kita dengar di masyarakat," tegas Mulyanto. (*)