Revisi Kebijakan Energi Nasional, Mulyanto: Sebaiknya Tunggu UU EBET Disahkan
RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta Pemerintah menunggu pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) bila ingin merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN).
"Ini penting agar isi KEN dengan UU EBET sejalan dan tidak ada bagian yang bertentangan. Dengan demikian Pemerintah dapat segera melaksanakan program transisi EBET berdasarkan payung hukum yang dapat dipertanggungjawabkan," kata Mulyanto, Rabu (25/10/2023).
Mulyanto memaklumi keinginan Pemerintah merevisi KEN. Karena memang dalam beberapa tahun belakangan ada beberapa peristiwa yang turut mempengaruhi kondisi umum masyarakat terkait arah kebijakan energi.
"KEN disusun pada tahun 2014 untuk interval waktu tahun 2014-2050. Kebijakan utama dalam dokumen KEN ini adalah terkait soal ketersediaan, arah dan prioritas pengembangan energi nasional," jelasnya.
Sementara itu, selama perjalanan waktu hampir sepuluh tahun ini, ada beberapa peristiwa yang berpengaruh besar bagi arah dan prioritas pembangunan energi ke depan, maupun pencapaian target-targetnya, yakni adanya pandemi Covid-19 dan komitmen net zero emission di tahun 2060.
Karena dinamika perubahan lingkungan strategis terutama pandemi Covid-19 dan kemampuan untuk merealisasikan target-target pembangunan energi, faktanya target-target penting bauran energi nasional dalam KEN banyak yang tidak tercapai, misalnya target bauran EBET pada tahun 2025 yang sebesar 23 persen.
"Kemudian dengan adanya komitmen nasional bagi pencapaian NZE pada tahun 2060, maka arah dan prioritas pengembangan energi nasional termasuk skenario pencapaiannya, tentunnya akan berubah. Mungkin ini yang melatarbelakangi perlunya revisi KEN," terang Mulyanto.
Mulyanto minta revisi KEN perlu menunggu rampungnya RUU EBET karena dalam RUU EBET juga diatur terkait skenario EBET khususnya transisi energi dan peta jalan pengembangan EBET.
"Sesuai peraturan perundangan yang berlaku, penyusunan KEN termasuk revisinya ini perlu persetujuan dari DPR RI," kata Mulyanto. (*)