Kiamat Sebelum Kiamat
Oleh: DRS. H. IQBAL ALI, MM
Sebagai manusia normal, kita akan disibukkan oleh dinamika kehidupan. Bermacam-macam aktivitas manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai umat beragama, khususnya Islam, kita harus bersyukur karena negeri kita dihuni oleh orang-orang beragama, sekaligus pemeluk Islam terbesar di dunia.
Kita bersyukur karena ada peningkatan aktivitas majelis-majelis taklim. Kita bersyukur bahwa rumah-rumah ibadah semakin banyak dan megah. Kita bersyukur bahwa mubalig pun semakin banyak yang hebat dan mahir bahasa Arab.
Dari kondisi ini, logika dan akal sehat akan mengatakan bahwa rupanya ajaran Islam sudah tak asing lagi, malah sudah familiar dengan masyarakat. Tinggal lagi bagaimana pengamalannya? Di sinilah kita mulai risau. Semua yang kita syukuri di atas belum terlihat dampak dari pengamalan ajaran Islam tersebut dalam keseharian kita. Bisa dikatakan belum berdampak dalam kehidupan kita. Kita mulai risau karena kejujuran dan keteladanan semakin hilang. Kita risau karena rasa malu sudah tiada. Kita risau bahwa banyak orang pintar, orang alim, tapi minus akhlak. Kita risau bahwa tiada hari tanpa berita-berita viral, terutama tentang korupsi yang sudah begitu menggila, pembunuhan yang sudah menjadi berita biasa, dan perkosaan yang begitu viral, bahkan di pesantren-pesantren, dan pelakunya adalah orang-orang yang tahu agama (orang-orang hebat).
Di satu sisi, kita bersyukur. Di sisi lain, kita risau. Apalagi di tahun politik ini, umat Islam semakin diuji spirit kedamaiannya, spirit persaudaraannya. Berbeda partai, berbeda aliran, tak saling tegur sapa. Padahal perbedaan-perbedaan itu adalah sunnatullah. Walaupun berbeda, tetap bersaudara.
Kalau saja kita serius beragama secara kaffah dan mengamalkannya dengan baik, semua yang kita risaukan di atas tidak akan terjadi. Di sinilah perlunya kita merenungkan isi sebuah tulisan dalam buku Kumpulan Khutbah Pilihan yang dikarang oleh Husein Hamzah tahun 2010, di mana salah satu judulnya adalah "Kiamat Sebelum Kiamat".
Ternyata isinya sangat relevan dengan keadaan sekarang. Sebagai mukmin, kita meyakini bahwa kiamat itu pasti datang. Ajaran Islam menyebutkan: "Segala sesuatu pasti hancur, kecuali Allah".
Relevansi judul buku di atas yaitu "Kiamat Sebelum Kiamat" adalah keadaan saat itu (13 tahun lalu) dengan keadaan masyarakat kita saat ini tidak berbeda. Sama-sama penuh dengan kezaliman, persis sama seperti apa yang kita risaukan. Pelakunya adalah orang-orang hebat termasuk pengasuh pesantren.
Pertanyaan sekarang adalah: kenapa kondisi seperti itu bisa terjadi? Salah satu jawaban utamanya adalah: gagal paham terhadap ajaran Islam dan hilangnya rasa malu. Berislam hanya sekadar rutinitas, sekadar dihafal-hafal dan dikhotbahkan. Padahal Islam adalah ajaran perilaku (berakhlak dan bertauhid). Inilah yang disebut: "Kiamat Sebelum Kiamat". Jiwa raganya masih hidup, tapi iman dan taqwanya telah mati. Mengaku Islam tapi minus akhlak; agama dipermainkan. Berbuat mungkar dan makruf silih berganti (Yusbihu Mukminan wa Yumsi Kafiran). Ritual-ritual oke, tapi dampaknya belum terlihat.
Mari kita terus berusaha berislam dengan sungguh-sungguh dan kaffah. Mudah-mudahan hari ini kita lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Jadikanlah Islam sebagai tuntunan hidup, ilmu sebagai kebutuhan hidup, dan harta sebagai pendukung hidup.
*Penulis adalah Dosen & Ketua Dewan Penasehat IKMR Riau