Mengenal Gaya Kepemimpinan Demagog
RIAUMANDIRI.CO- Bagaimana jika pemimpin tidak mempunyai jiwa kepemimpinan? Apa yang akan dilindungi dari gelar seorang pemimpin? Pertanyaan ini adalah bentuk dari realisasi dalam dunia politik, bisnis dan tak ketinggalan dunia pendidikan.
Berangkat dari judul tulisan ini “Kepemimpinan Demagog”, penulis ingin memberikan pandangan akan hakikat pemimpin dari sisi idealismenya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterjemahkan, bahwa demagog sebagai penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyatnya untuk memperoleh sebuah kekuasaan.
Demagog ini muncul dari istilah politik yang berasal dari Bahasa Yunani “demos” yang bermakna rakyat dan “agogos” yang bermakna pimpinan dalam arti negatif. Yaitu pemimpin yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.
Seorang yang mempunyai sifat demagog akan berusaha untuk meyakinkan kepada para pendengarnya bahwa ia mampu berpikir dan mampu merasakan seperti mereka. Biasanya, seorang demagog selalu mencari kambing hitam dari sebuah masalah dan persoalan.
Dia juga lihai dalam retorika yang argumentasinya menjadi senjata untuk hominem (menyerang pribadi orang). Maka, berapa banyak kita lihat dewasa ini seorang leadership (pemimpin) fakir ilmu dalam sebuah kepemimpinan, miskin akhlak saat bersosial dan bersifat egoisentris sewaktu mengambil keputusan dan kebijakkan. Namun, apakah itu yang dinamakan pemimpin yang adil? Tentu tidak.
Sedikit flasback dari kisah pemimpin muslim di masa lalu yang tentunya bisa menjadi referensi. Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq dibaiat (diangkat langsung) sebagai khalifah menggantikan Rasulullah Saw. Saat itu Abu Bakar menyampaikan dalam isi pidatonya yang pertama kali sebagai seorang pemimpin kaum muslimin.
Dia menyampaikan: “Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah. Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu pandang lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka, hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku. Berdirilah untuk shalat, semoga rahmat Allah meluputimu”.
Bila kita ambil hikmah dari kisah tersebut, jelas bahwa para sahabat Nabi begitu berhati-hati dalam memimpin mereka sebahagian besar memaknai jabatan sebagai amanah besar dan tanggung jawab dunia akhirat.
Arti yang sesungguhnya bagi mereka jabatan itu adalah musibah besar dan bukan semata menjadi social climbing (orang yang suka berprilaku apa pun untuk membuat status sosialnya terlihat lebih tinggi). Atas dasar itu, pemimpin harus berdedikasi tinggi, punya visioner dan mampu berintegrasi, namun sangat disayangkan bila kita lihat hari ini pemimpin-pemimpin yang diangkat berawal bukan dari pengalaman, mereka terpilih karena punya back up-an semata. Ini menunjukkan bahwa dasar menjadi seorang pemimpin sudah ternodai oleh budaya kotor.
Dalam dunia politik misalnya, rakyat sangat berharap besar dalam pemilihan pemimpin dilakukan secara adil dan transparan sehingga bisa membawa perubahan ke arah lebih baik. Setiap periode digelar pemilihan pemimpin namun nyatanya banyak rakyat yang belum dan tidak merasakan kondisi yang lebih baik, bahkan semakin merosot dan terpuruk.
Sungguh sangat disayangkan banyak pemimpin-pemimpin terpilih yang saat berkampanye menebar janji-janji palsu bahkan tidak segan secara terbuka ingin mengembalikan “modal” mereka setelah habis untuk berkampanye. Kadangkala ini disebabkan penyelanggaraan pemilu ataupun pilkada yang tidak berkualitas sehingga banyak pemimpin yang tidak amanah terhadap rakyatnya.
Bahkan praktik kecurangan dan tindakkan kedzaliman justru bisa mengundang azab Allah Swt. Sebagaimana yang Allah gambarkna dalam Q.S. Al-Qashas ayat 59: “dan tidak pernah Kami binasakan penduduk suatu negeri, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”. Inilah salah satu contoh kepemimpinan demagog yang saat duduk di kursi jabatannya mereka mempunyai banyak strategi atau metode dalam menghasut dan memperdayai orang-orang di bawahnya demi keuntungan personal semata.
Sejalan dengan itu pula, demagogi pendidikan (kecurangan pemimpin) yang seyogyanya harus bermuara pada konteks nilai karakter kini malah menjadi problematika internal dalam sebuah lembaga pendidikan. Sering disebut bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan dibentuk. Karena pada dasarnya pemimpin adalah mereka yang harusnya dikenang! Pertanyaannya, apa itu pemimpin? Sederhananya pemimpin adalah seseorang yang mampu membawa perubahan dalam sebuah lembaga atau organisasi. Kegagalan seorang pemimpin juga dapat memberikan dampak negatif secara psikologis terhadap bawahannya.
Bentuk kegagalan itu misalnya; pemimpin yang egois, kurangnya kualitas kepemimpinan diri, keyakinan berubah mejadi kesombongan dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Sejatinya pendidikan di Indonesia gagal dalam melahirkan pemimpin bangsa di masa depan banyak dari mereka yang tidak memiliki hati nurani. Ini menunjukkan ada sebab akibat dari Tri Darma perguruan tinggi yang konteksnya berupa Pendidikan, Pengabdian dan Penelitian kepada masyarakat, tidak sesuai dengan kondisi perkembangan zaman.
Harusnya pendidikan itu setelah melalui proses adanya kondisi riil di dalam masyarakat, kearifan lokal dan budaya juga harus menjadi konsentrasi yang serius untuk dipahami demi mencapai visi misi dan tujuan bersama. Misalnya, budaya pendidikan di Pulau Sumatera dan Jawa. Tentu budaya keduanya jelas berbeda, nilai karakter yang dibangun juga harus sesuai dengan kearifan lokalnya. Maka dengan begitu pendidikan itu akan menghasilkan manusia yang berkarakter dan berhati nurani.
Sudah saatnya hari ini Indonesia membangun pondasi untuk membuat standarisasi pemilihan pemimpin dengan bijak. Jangan sampai pemimpin masa depan terkontaminasi dengan moral-moral rusak yang ditunjukkan oleh pemimpin curang, berkedok nasonalisme dan berakar sifat hasadnya demi keuntungan individu. Seharusnya pula para pemimpin itu bisa menampilkan wajah kedamaian, mampu membimbing atau merangkul bawahannya dan cerdas dalam memberikan win-win solution (saling bisa memberikan keuntungan demi menggapai tujuan bersama).
Tulisan : Adi Syahputra, M.Pd