Ooh Pendidikan, Malangnya Nasibmu
RIAUMANDIRI.CO- Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kali ini menyongsong tema yang spektakuler “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”. Apakah pendidikan kita sudah merata dan merdeka? Apakah pendidikan yang merdeka harus berkualitas?
Saat sedang dalam perjalanan, penulis melihat baliho besar terpampang dari salah satu sekolah di ibu kota provinsi. Iklan promosinya dimuat semua jenis prestasi yang ada di sekolah itu. Ditambahkan pula kalimat penegesan dengan font terbesar, Sold Out - Sudah Terjual.
Ternyata bukan sekolahnya yang terjual, bukan kepala sekolah, wakil kepala, guru atau pun siswanya, namun makna dari sold out itu adalah terjual habis kesempatan untuk mendaftar bagi para siswa baru. Usut punya usut, ternyata sekolah tersebut sudah memenuhi batas kuota maksimal, maka dibuatlah banner pengganti dengan tulisan Sold Out!. Dunia sales dan marketing ternyata telah bermain di dalamnya. Dalam tulisan ini, kita tidak membahas antara sales maupun marketingnya. Yang sedang kita bicarakan adalah tulisan Sold Out.
Bayangkan, bagi pemilik yayasan, kepala sekolah, dan administrasi sekolah tersebut, sekolah adalah komoditas untuk diperjualbelikan. Tidak ada bedanya dengan Handphone, kendaraan bermotor, televisi, kulkas karcis bioskop, atau barang lainnnya yang kadangkali kata-kata yang dipakai adalah Sold Out - Sudah Terjual Habis.
Entah sudah berapa ribu orang yang telah membaca baliho itu. Dan dianggap pemilihan kata-kata sold out, sebagai sesuatu yang lazim, wajar, biasa. Loh, dimana anehnya?
Anehnya adalah bahwa pendidikan kita hari ini tanpa disadari sudah menjadi komoditas. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau banyak sekolah-sekolah tanpa visi yang jelas muncul dipermukaan. Sesuai pula dengan apa yang dikatakan para pakar pendidikan, banyak lembaga atau instansi hari ini mejadi pabrik untuk mencetak sarjana dan generasi yang seragam. Ya, seragam tanpa misi yang jelas.
Ketahuilah, ketika pendidikan telah menjadi komoditas, maka pabrik yang menghasilkan komoditas itu mesti efektif dan efisien. Faktanya banyak yang tidak memperdulikan siswanya secara khusus, semuanya dipukul rata. Supaya jumlah produksinya meningkat, yang kualitasnya harus seragam, dan jika selesai satu kelompok maka bisa memproduksikan kelompok berikutnya.
Bapak pendidikan kita, yaitu Ki Hadjar Dewantara pernah memberikan semboyan-semboyan seperti: Lawan Sastra Ngesti Mulya – Menuju Kemuliaan dengan Sastra dengan Ilmu. Dan Suci Tata Ngesti Tunggal Menuju Kesempuranaan/Persatuan dengan Kesucian Diri. Suci batin, suci pikiran, suci perasaan, suci dalam pelaksanaan, ucapan dan perbuatan.
Bagaimana bisa meraih kesempurnaan, persatuan dan kesucian seperti yang didambakan oleh Bapak Pendidikan kita, jika pendidikan ditunggangi oleh komoditas? Bagaimana berharap pendidikan mulia dari sekolah-sekolah yang kerap kali berlomba lewat Education Bazaar. Emangnya ada dalam pendidikan? Ya, tentu saja ada, bazaar itu berarti pasar. Bagaimana pula jika dilihat banyak sekolah-sekolah yang menawarkan promo, hadiah, dan potongan-potingan harga, bukankah itu sama seperti di pasar?
Ya, potongan harga. Ada pula yang membukusnya dengan kata keren dalam ejaaan Inggris, discount. Ada juga yang berterus terang, tanpa membalut ‘potongan harga’. Memprithatinkan bukan?!
Ada dua hal yang menjadi catatan: Pertama. Mari kita melek bersama, dana BOS misalnya, hitungannya per-kepala. Kalau mau berpikir idealis maka disinilah leberalisasi ekonomi sekolah, siswa seakan menjadi komoditi sekolah, makin banyak siswanya makin banyak dana yang diterima, sebaliknya semakin sedikit siswanya makin kere lah sekolah itu.
Punya murid 100 gurunya 10, punya murid 3 pun juga harus 10 gurunya, lalu kebutuhan kapur/spidol pasti sama juga kan? Kedua. Labelisasi, Sekolah Unggulan, Rujukkan, Plus dan lain-lain. Hal ini semakin menggelengkan kepala. Biasanya sekolah-sekolah semacam ini berada di perkotaan yang akan menimbulkan migrasi hingga menyedot siswa dengan jumlah yang besar, dari rayon/kecamatan sehingga tidak dipungkiri mereka akan punya komoditi ekonomi yang gemuk.
Sedangkan sekolah yang tak berlabel biasanya berada dipinggiran semakin tidak diminati dan terseok-seok. Lalu apakah sekolah yang seperti ini masih bisa mikir untuk mendongkrak kualitas?
Saatnya standard biaya sekolah harus dapat dihitung dengan dasar analitik yang akuntabel, dana bos harusnya tidak lagi didasarkan atas jumlah murid, setidaknya harus ada batas minimal pembiayaan. Harus juga ada usaha untuk menghapus sekolah-sekolah favorit, tidak favorit, plus maupun reguler harus bisa menjadi semua sekolah favorit.
Demi Bapak Pendidikan Nasional kita, demi pendidikan merdeka dan berkemajuan, sebagaimana yang beliau dan pahlawan pendidikan impikan. Marilah kita bersama-sama memerdekakan pendidikan dari liberalisasi dan komersialisasi. Tidak membiarkan pendidikan mejadi komoditas untuk diperjualbelikan.
Harus ada upaya mencerdaskan masyarakat secara kolektif dan general yang didasarkan pada koordinasi dan komunikasi secara intens pula tanpa membuang waktu lagi. Tidak bisa legowo atau alon-alon asal klakon. Pendidikan kita sedang mati suri, marilah kita menyelamatkan diri, memanusiakan manusia, dari plosok negeri hingga ibu kota. Dan harus bisa menyelematkan generasi yang masih tersisa agar tidak mati dalam keadaan krisis pendidikan.
Penulis : Adi Syahputra, M.Pd