Ketua DPR Soroti Kasus Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja
RIAUMANDIRI.CO - Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja yang belakangan semakin marak terjadi. Ia menegaskan, korban yang sebagian besar adalah perempuan harus mendapatkan perlindungan dan kesetaraan saat berada di tempat kerja.
“Kekerasan dan pelecehan di tempat kerja sudah menjadi fenomena yang sangat mengkhawatirkan dan harus segera diberantas. Dibutuhkan ketegasan dari Pemerintah didukung stakeholder terkait agar kejadian seperti ini tidak terus terulang,” kata Puan dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/5/2023).
Politisi PDI-Perjuangan itu pun menyoroti kasus dugaan eksploitasi terhadap pekerja perempuan yang viral di media sosial. Dari informasi yang beredar, sebuah manajemen perusahaan di Cikarang diduga memberikan syarat karyawan perempuan untuk staycation (menginap di hotel) bersama atasan jika ingin kontrak kerja diperpanjang.
“Jelas, ini sudah merupakan tindakan kekerasan seksual dan saya sangat mengecam tindakan tersebut. Bukan hanya melakukan pelecehan seksual, tindakan tersebut juga telah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan merupakan bentuk eksploitasi,” ujar Puan.
Cucu Bung Karno ini meminta penegak hukum bekerja sama dengan perwakilan ketenagakerjaan untuk mengusut kasus tersebut. Apabila dugaan tersebut terbukti, Puan meminta pelaku dihukum seberat-beratnya untuk menjadi pelajaran pihak lain supaya tidak bermain-main terhadap aturan.
“Tidak ada kata ampun untuk tindakan kekerasan seksual. Semua pekerja berhak mendapat jaminan dan penghidupan yang layak tanpa ada embel-embel syarat, apalagi syarat amoral seperti ‘tidur bareng bos’,” tegasnya.
Puan menyebut, stereotipe gender dan budaya patriarki yang masih menjadi momok di lingkungan kerja harus diatasi dengan berbagai pendekatan. Ia juga menilai, praktik kekerasan seksual di lingkungan kerja juga banyak terjadi karena adanya faktor relasi kuasa.
“Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja seringkali merupakan relasi kekuasaan dan kontrol oleh beberapa orang di kuasa kerja seperti rekan kerja, atasan, atau klien,” ungkap Puan.
Selain regulasi dari Negara, seluruh perusahaan diajak untuk memiliki regulasi internal yang mengatur perlindungan dan kesetaraan bagi perempuan, termasuk dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Puan mengatakan, regulasi dari internal perusahaan dapat memutus mata rantai kasus pelecehan seksual di lingkungan pekerjaan.
“Seringkali korban tidak bisa melawan karena adanya relasi kuasa itu. Ini yang harus diputus melalui ketegasan pihak manajeman, pengawasan dari Pemerintah, serta kesadaran dari semua pihak soal isu perlindungan terhadap pekerja perempuan,” jelasnya.
“Kesadaran semua pihak itu setidaknya akan mengurangi praktik-praktik kekerasan terhadap pekerja perempuan yang rentan mendapat pelecehan seksual,” imbuh mantan Menko PMK itu.
Menurut Puan, diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih masif mengenai produk-produk hukum dan aturan dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya adalah Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Relasi kuasa bisa diputus dengan penerapan tegas UU TPKS. Masyarakat pun harus lebih teredukasi mengenai ancaman yang didapat apabila melakukan pelecehan seksual, sekecil apapun itu. Literasi yang baik juga akan meningkatkan awareness masyarakat kepada korban kekerasan seksual,” sebut Puan.
“Jangan sampai ada lagi kekerasan seksual di lingkungan kerja. Perempuan berhak mendapat keamanan dan kenyamanan saat bekerja. Tidak boleh ada diskriminasi karena perempuan berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam karir tanpa ada syarat apapun,” tegasnya.
Lebih lanjut, dirinya mendorong pemerintah dan pihak penegak hukum serta lembaga ketenagakerjaan menerapkan amanah UU TPKS secara maksimal. Ia mendorong Pemerintah untuk mempercepat pembentukan aturan turunan UU TPKS sehingga peraturan terkait pencegahan dan penyelesaian kasus tindak kekerasan seksual dapat diimplementasikan dengan efektif oleh para pemangku kepentingan.
“Harus ada sinergi lintas sektoral, baik antar kementerian/lembaga, penegak hukum, dan bekerja sama dengan organisasi masyarakat agar aturan dalam UU TPKS dapat berjalan. Tentunya termasuk dengan pelaku industri untuk memastikan kekerasan seksual tidak terjadi di lingkungan kerja,” papar Puan.
Penerapan penegakan hukum dalam UU TPKS diharapkan menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Dengan begitu, menurut Puan, banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
“Kasus kekerasan seksual menjadi tanggung jawab kita semua. Sudah ada regulasi penerapan hukum bagi para pelaku kekerasan seksual. Maka implementasikan dengan baik,” tutup perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu. (*)