Merespons Pesan Anak Desa Tentang Pembangunan SDM
Oleh Bambang Soesatyo*
PEMBANGUNAN sumber daya manusia (SDM) masih berselimutkan sejumlah masalah mendasar. Beragam data resmi terkini memberi bukti tentang kecenderungan itu. Jika tidak segera ditangani sejak dini dengan sungguh-sungguh, ragam permasalahan itu akan mempersulit upaya mewujudkan bonus demografi yang kualifaid pada dekade 2040-an.
Sudah diungkap berulangkali bahwa Indonesia akan mendapat bonus demografi pada dekade 2040-an. Bonus demografi itu memberi gambaran bahwa 70 persen dari total jumlah penduduk Indonesia dalam usia produktif. Kalau lebih dari 100 juta jiwa usia produktif itu kualifaid seturut kebutuhan zamannya, dia tidak sekadar solutif, melainkan juga menjadi fondasi kokoh bagi aspek ketahanan nasional. Sebaliknya, jika komunitas usia produktif itu tidak terampil atau tidak berkeahlian, mereka menjadi angkatan kerja yang akan membebani negara.
Maka, kalkulasi tentang bonus demografi dekade 2040-an itu hendaknya dimaknai sebagai peringatan sekaligus faktor pendorong untuk lebih bersungguh-sungguh dalam membangun SDM sejak dini. Tentu saja perencanaan dan program yang dijabarkan dalam pembangunan SDM itu harus beradaptasi dengan perubahan zaman, serta berpijak pada proyeksi atau perkiraan akan kebutuhan keahlian serta kompetensi di masa depan. Karena persaingan di masa depan diasumsikan akan sangat ketat, pembangunan SDM harus berfokus pada tekad menyiapkan dan menghadirkan angkatan kerja yang kualifaid seturut kebutuhan zamannya.
Karena itu, gagasan serta semangat mewujudkan profil Indonesia Emas 2045 pun menjadi sangat relevan bagi negara untuk memberi perhatian ekstra pada aspek pembangunan SDM. Indonesia Emas 2045 akan diwujudkan dengan berfokus pada pembangunan empat pilar. Sudah barang tentu Pembangunan SDM demi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pilar utama. Dengan SDM yang kualifaid, Indonesia pada saatnya ditargetkan mampu meraih status negara maju karena skala dan nilai perekonomiannya masuk jajaran empat besar dunia.
Untuk mewujudkan aneka target Indonesia Emas 2045 itu, semua komponen bangsa diajak untuk realistis memahami di mana posisi bersama saat ini, terutama tentang progres pembangunan SDM dewasa ini. Suka tidak suka, harus diakui bahwa sejumlah masalah mendasar masih terbentang nyata. Ragam masalah itu bisa dijumpai di mana saja, di pelosok-pelosok desa hingga kota-kota besar, termasuk Jakarta. Dan semua itu menjadi penjelasan bahwa masih begitu banyak masyarakat yang belum dijangkau atau dilayani oleh proses pembangunan yang sedang berjalan hingga sekarang ini. Ragam permasalahan itu bisa dilihat dari data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistika (BPS).
Ada data tentang kemiskinan ekstrim, termasuk di Jakarta dan beberapa wilayah di Pulau Jawa. Data atau catatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga harus mendapat perhatian khusus. Menurut BKKBN, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Angka kematian bayi mencapai 24 per 1.000 kelahiran, sedangkan angka kematian ibu tercatat 230 per 100 ribu kelahiran hidup.
Dari data BPS pula setiap orang bisa mengetahui bahwa banyak bayi berusia di bawah lima tahun (Balita) gagal tumbul ideal karena menderita kurang gizi kronis (stunting). Menjelang akhir Januari 2023, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa prevalensi stunting masih di kisaran 21,6 persen pada 2022.
Pembangunan SDM pun masih diwarnai dengan kasus anak-anak putus sekolah. BPS mencatat fakta tentang peningkatan jumlah anak-anak yang putus sekolah pada 2022. Anak putus sekolah terdapat pada semua jenjang pendidikan, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingginya angka putus sekolah disebabkan banyak faktor, seperti kurangnya minat anak untuk sekolah, faktor ekonomi, faktor lingkungan hingga faktor kesehatan.
Perubahan pola kegiatan belajar-mengajar akibat Pandemi Covid-19 pun berdampak kepada banyak anak. Sekolah daring menghadirkan konsekuensi biaya yang masih sulit dijangkau oleh banyak orang tua. Misalnya, karena keterbatasan penghasilan orang tua, anak-anak kesulitan memiliki perangkat digital, termasuk untuk membeli kuota internet.
Akhirnya, pesan anak-anak dari desa yang ditujukan kepada pemerintah sangat layak untuk disimak. Esensi pesan itu masih tentang sulitnya membangun SDM. Anak-anak dari banyak desa masih mengalami sejumlah kesulitan untuk, misalnya, sekadar belajar atau menempuh perjalanan ke sekolah. Anak-anak itu mengalami kesulitan karena pemukiman di desanya belum dialiri daya listrik. Anak-anak lainnya menghadapi sejumlah rintangan untuk pergi ke sekolah karena infrastruktur di desanya tidak memadai, seperti jalan yang rusak atau tidak adanya jembatan untuk menyeberangi sungai.
"Pak Jokowi tolong bantu kami, kami sudah lelah belajar pakai lampu minyak tanah. Tolong kasih kami listrik," pinta dua murid sekolah dasar dari sebuah desa di Nusa Tenggara Timur, belum lama ini, sebagaimana dikutip dari Kompas.Com. Mereka, tentu saja, juga belum terjangkau jaringan internet. Dari desa lain, para pelajar minta pemerintah membangun jembatan agar mereka bisa menyeberangi sungai dengan aman dan nyaman dalam perjalanan menuju sekolah.
Persoalan lain yang juga harus disikapi adalah kesulitan orang muda dan anak-anak untuk masuk dalam arus proses transformasi digital. Ketersediaan infrastruktur digital yang mumpuni hendaknya segera dipercepat. Cakupan jaringan internet hendaknya dapat menjangkau semua wilayah tanah air, dengan kualitas jaringan yang dapat diandalkan. Soalnya, masih begitu banyak sekolah belum terjangkau jaringan internet dan ribuan sekolah lainnya belum mendapat aliran daya listrik.
Fakta ini hendaknya mendapat perhatian khusus, karena sekolah dan kampus menjadi wadah bagi anak-anak dan orang muda menimba ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bertransformasi untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Demi terwujudnya target Indonesia Emas 2045, tidak boleh ada warga negara yang minim akses untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Jadi, tidak berlebihan jika jaringan internet di dalam negeri dapat menjangkau 38 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota dan 83.381 desa.
Pesan dari anak-anak desa Itu memberi gambaran tentang sebagian masalah riel dalam lingkup pembangunan SDM. Rangkaian masalah riel itu harus segera direspons agar pada saatnya nanti semua komunitas anak bangsa kualifaid mewujudkan profil Indonesia Emas 2045. (*Ketua MPR RI/Dosen Tetap Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka)