Mulyanto: Indonesia Harus Optimalkan Hilirisasi Nikel dan Jangan Hanya jadi Penonton
RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua FPKS DPR RI Mulyanto mengatakan, Indonesia harusnya mengoptimalkan program hilirisasi nikel.
Jangan seperti sekarang ini yang berhenti di pengembangan pabrik nikel kelas 2 dengan produksi barang setengah jadi berupa fero nikel (FeNi) dan nikel pig iron (NPI).
Akibatnya Indonesia tidak dapat menikmati nilai tambah yang tinggi dari produksi nikel yang dihasilkan.
Lebih menyedihkan lagi, hasil pemurnian bijih nikel ini dijual kepada Tesla oleh dua perusahaan smelter China. Sedang kita hanya menjadi penonton.
Bahkan Presiden dan Menkomarves secara tidak langsung menjadi markerting perusahaan smelter ini saat kunjungannya ke Tesla.
Demikian dikatakan anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, hari ini menanggapi transaksi pembelian nikel oleh Tesla ke dua perusahaan China, Zhejiang Huayou Cobalt Co dan CNGR Advanced Material Co, yang beroperasi di Indonesia.
Padahal pengorbanan kita untuk program hilirisasi setengah hati ini cukup besar.
Penambang nikel tidak dapat mengekspor ore nikel dengan harga internasional, dan pasrah dengan harga ore nikel domestik yang jauh lebih rendah. Negara juga tidak memperoleh penerimaan dari bea ekspor ore nikel.
Belum lagi Pemerintah harus mengeluarkan berbagai kemudahan dan insentif baik fiskal maupun non fiskal, termasuk tax holiday pajak badan kepada perusahaan smelter asing.
Ditambah lagi dengan biaya sosial-politik berupa berduyun-duyun masuknya TKA yang ditengarai sebagian besar adalah pekerja kasar.
Sementara itu, keterbatasan bijih nikel saprolit berkadar tinggi adalah fakta alamiah cadangan SDA kita, sehingga pengelolaan nikel kita harus dieman-eman dengan mengekspor hanya produk nikel bernilai tambah tinggi.
"Ini adalah pengorbanan yang besar untuk program hilirisasi nikel setengah hati yang jauh dari harapan kita," sesal Mulyanto.
Karena itu Wakil Ketua FPKS DPR RI ini minta Indonesia harus benar-benar mengoptimalkan program hilirisasi nikel ini. Dengan memproduksi produk jadi dengan nilai tambah tinggi. Kementerian Perindustrian harus menjadi motor utama program ini.
"Sekarangkan terkesan yang menjadi motor adalah Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, yang malah merangkap menjadi PLT Gubernur," tukasnya. (*)