Perdebatan Pemberitaan Objektif dan Subjektif Tak Berujung

Perdebatan Pemberitaan Objektif dan Subjektif Tak Berujung

Oleh M Jamiluddin Ritonga*

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam Forum Pemred mengingatkan media belum bisa menyetir pemberitaan objektif.

Menurut Anies, beda dengan subjektif, subjektivitas itu membawa data juga namun dia adalah pandangan parsial. Tapi objektivitas, dia pandangan komprehensif memberikan ruang setara.

Harapan Anies tentang pemberitaan objektif memang tegas dinyatakan dalam UU Pokok Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia. Disebutkan berita harus objektif.

Karena itu, wajar kalau Anies dan beragam unsur masyarakat menginginkan berita harus objektif. Sebab hal itu diatur dengan tegas dalam UU dan Kode Etik Wartawan.

Dari kacamata akademik, berita dapat dilihat dari dua perspektif. Perspektif pertama, berita dipahami sebagai segala sesuatu peristiwa atau pendapat yang disampaikan seseorang sebagaimana adanya. Pandangan ini menginginkan berita disampaikan apa adanya atau disebut objektif.

Perspektif kedua, berita dipahami sebagai hasil persepsi wartawan terhadap suatu peristiwa atau pendapat seseorang mengenai sesuatu hal. Pandangan ini menilai berita hanya hasil persepsi atau subjektif wartawan.

Pandangan kedua ini juga sejalan dengan model agenda setting. Dalam model ini disebutkan bahwa setiap media punya agenda. Hal ini akan terlihat pada frame setiap media terhadap suatu peristiwa atau pendapat seaeorang.

Dari dua pandangan itu, terlihat pandangan kedua yang paling banyak diterapkan oleh wartawan. Wartawan menulis berita berdasarkan hasil persepsinya terhadap fakta yang diterimanya.

Jadi, antara normatif di UU dan Kode Etik yang menginginkan objektivitas dalam pemberitaan, namun di lapangan wartawan cenderung menerapkan pandangan subjektif. Kesenjangan ini seyogyanya segera dicarikan solusi.

Kalau wartawan menginginkan pandangan subjektif, maka UU dan Kode Etik perlu disesuaikan. Begitu sebaliknya, kalau pandangan objektif yang diinginkan, maka praktek di lapangan wartawan seyogyanya mengikuti pandangan tersebut. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul/mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta)