YLKI: Indonesia Begitu Rapuh dalam Tatanan Pangan
RIAUMANDIRI.CO - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai terjadinya gejolak harga pangan karena kondisi Indonesia begitu rapuh dalam tatanan pangan.
Fluktuasi harga pangan, menurut Tulus sudah terjadi sejak akhir 2021 yang dimulai dengan harga minyak goreng. Fluktuasi harga pangan tidak semata karena faktor eksternal pelambatan ekonomi dan kecamuk perang Rusia-Ukraina, tetapi juga disumbang adanya keterbatasan pasokan di dalam negeri.
"Mirisnya mengapa menggantungkan gandum impor dan tidak diproduksi secara lokal. Kita pengonsumsi mie nomor dua dunia, dan juga roti yang mengandalkan bahan impor," kata Tulus dalam dalam Gelora Talk bertajuk 'Kenaikan Harga-harga Menggelisahkan Warga: Apa Kabar Indonesia?, Rabu (27/7/2022) sore.
Tulus sangat menantikan peran Badan Pangan Nasional (BPN) untuk menuntaskan persoalan gejolak pangan. BPN harus mampu membenahi sendi-sendi pasokan, distribusi dan konsumsi pangan.
"Sekarang, juga kondisi iklim global tak bersahabat, selain pasokan tak merata. Misalnya, Australia sedang mengalami kebakaran maka harga daging melonjak. Sedangkan, mengalihkan impor dari India, malah diduga kuat membawa virus PMK," jelasnya.
Tidak hanya pangan menurut Tulus, kerentanan juga terjadi bidang energi seperti ketersediaan gas. Pertamina belum lama ini menyesuaian harga Elpiji komersial yang mana kendati masih di bawah biaya produksinya.
"Kebutuhan gas juga belum mandiri, karena mengandalkan impor, sehingga harus disesuaikan. Sedangkan LPG 3 Kg terus disubsidi dengan barang yang sama, sehingga memicu konsumen bermigrasi ke LPG 3 Kg," katanya.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Median Rico Marbun mengatakan, seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya ibu rumah tangga saat ini merasakan dampak dari krisis ekonomi dan melambungnya harga-harga pangan.
"Hampir seluruh usia mengakui adanya perasaan krisis Ini bisa terjadi mungkin dirasakan orang tua atau saudaranya. Masalah ekonomi menjadi titik terberat dan stabilitas harga dan hampir 90% menjawab demikian," kata Rico.
Perasaan adanya krisis ekonomi dan harga, kata Rico Marbun, lebih mencolok, atau jadi top of main public. Diharapkan hal ini menjadi perhatian publik dan pemerintah.
Sebab, publik telah merasakan performa ekonomi dan situasi memburuk. Kondisi ini, menurutnya, akan berimplimasi dan membawa perubahan konstelasi politik khususnya legitimasi politik.
"Sri Lanka contoh nyata, dalam waktu singkat pemerintahnya tumbang. Begitu juga yang menimpa negara maju, seperti Inggris dan Itali, perdana menteri mengajukan resign," ujarnya.
Rico memperkirakan, kalau saja kondisi perekonomian yang dirasakan masyarakat terus merosot, Indonesia akan mengalami dampak yang tidak jauh berbeda.
Pengaruh kekuatan partai lama juga akan menjadi sulit untuk dipertahankan. Sebaliknya, partai baru yang menawarkan ide yang cemerlang berpeluang mendapat dukungan rakyat banyak.
Menurut dia, tugas lembaga survei hanya memotret perasaan masyarakat untuk disampaikan. Perasaan negatif seperti kekhawatiran, waspada, takut, marah dan lainnya lebih dominan dirasakan masyarakat saat ini.
"Saya kira ini harus jadi perhatian pemerintah, karena ternyata perasaan ini juga terinfeksi dari dampak pandemik, bukan hanya infeksi Covid-19," pungkas Rico Marbun. (*)