Sultan: Demokrasi Tak Boleh Dikooptasi MK dan Parpol
RIAUMANDIRI.CO - DPD RI menolak keras pernyataan hakim MK yang mengatakan DPD RI tidak memiliki legal standing untuk menggugat ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen yang tercantum dalam UU Nomor 07 tahun 2017 tentang Pemilu.
Pernyataan hukum MK itu seolah tidak mengakui eksistensi atau keberadaan lembaga DPD RI dan mengaburkan amanah konstitusi yang memberikan kewenangan legislasi kepada lembaga DPD RI.
"Pernyataan tersebut sangat melukai DPD RI sebagai lembaga legislatif dan tentunya sangat mengganggu hubungan antarlembaga negara," tegas Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (9/7/2022).
Karena itu, Sultan minta MK secara kelembagaan memberikan klarifikasi secara jelas kepada publik agar tidak terjadi kesalahpahaman publik tentang keberadaan lembaga DPD RI yang memilki legitimasi electoral dan merupakan lembaga perwakilan layaknya DPR RI yang merupakan bagian dari lembaga MPR RI.
"Secara hukum, MK seharusnya memahami bahwa setiap UU atau peraturan perundang undangan lainnya memilki dampak sosial, politik, dan hukum kepada setiap warga negara yang wajib dilindungi oleh negara. Maka tidak etis jika MK secara diskriminatif menolak gugatan terhadap suatu UU yang layangkan oleh masyarakat baik secara pribadi maupun lembaga kepada MK," kata Sultan.
Sultan mempertanyakan, jika DPD RI sebagai lembaga legislatif yang memilki instrumen legislasi seperti DPR ditolak gugatan hukumnya, lalu aspirasi gugatan masyarakat terhadap UU Pemilu yang inkonstitusional ini harus tersalurkan melalui lembaga politik atau lembaga legislatif yang mana lagi?
"Dengan logika hukum open legal policy, MK seolah menegaskan bahwa hanya sembilan hakim MK plus sembilan ketua partai politik di DPR yang berhak sepenuhnya atas aturan main pemilu di negara demokrasi konstitusional ini," tegas Sultan.
Padahal gugatan yang dilakukan oleh DPD RI terhadap pasal 222 UU No 7 tahun 2017 merupakan bentuk koreksi atau reaksi double check terhadap produk UU yang dilahirkan oleh DPR dan Pemerintah sebagai konsekuensi logis dari posisi lembaga DPD RI yang merupakan lembaga legislatif kedua dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Gugatan terhadap PT 20 persen sepenuhnya murni sebagai wujud tanggung jawab moral DPD RI sebagai lembaga legislatif terhadap masa depan demokrasi konstitusional Indonesia yang kian terdegradasi akibat sistem Pemilu langsung serentak yang cenderung liberal, diskriminatif dan tidak inklusif," tegas Sultan.
Sultan menilai dalil MK yang menyebutkan bahwa PT 20 persen merupakan upaya konstitusional dalam memperkuat sistem presidensial dalam sistem demokrasi Indonesia merupakan argumentasi yang tidak berdasar dan cenderung membiarkan status quo yang disebut oleh banyak pakar sebagai "demokrasi cacat" Indonesia saat ini.
Demokrasi konstitusional Indonesia seperti yang tersurat dan tersirat pada sila ke 4 pada prinsipnya tidak relevan dengan sistem presidensialisme yang dijadikan logika hukum hakim MK. Artinya, PT 20 persen menjadikan mekanisme check and ballance yang merupakan indikator atau syarat demokrasi yang sehat, tidak terwujud secara seimbang. Karena yang terjadi adalah mekanisme politik kekuasan koalisional yang cenderung transaksional.
Demokrasi yang dibangun dengan mekanisme politik koalisional secara nyata telah menimbulkan ketimpangan yang serius bagi demokrasi presidensial. Masuknya ketua umum partai politik dalam kabinet pemerintah telah mengakibatkan kinerja anggota partai politik yang dipercayakan rakyat di lembaga legislatif (DPR) kehilangan kemerdekaan politiknya. (*)