Alasan Pemerintah
Pemerintah beralasan usulan menurunkan alokasi anggaran dana bagi hasil (DBH) dalam anggaran perubahan 2015, karena penurunan harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia sejak pertengahan tahun lalu, membuat pemerintah menurunkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari US$ 105 per barel menjadi US$ 70 per barel.
"Penurunan itu terutama menyebabkan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) Migas yang akan dibagihasilkan turun cukup signifikan," ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budiarso Teguh Widodo kepada Katadata, Selasa (20/1).
Atas dasar inilah pemerintah kemudian mengusulkan DBH tahun ini diturunkan sebesar Rp 15,1 triliun dari besaran anggaran yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Anggaran DBH diusulkan turun menjadi Rp 112,6 triliun dari sebelumnya Rp 127,7 triliun.
Beberapa komponen DBH yang mengalami penurunan dalam RAPBNP tahun 2015 adalah DBH PPh Pasal 25/29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri, DBH pajak pumi dan pangunan, dan DBH migas. Penurunan terbesar terjadi pada DBH migas dari Rp 42 triliun menjadi Rp 17 triliun.
Menurut Budiarso penurunan DBH migas ini juga disebabkan oleh penurunan proyeksi lifting migas. Target lifting minyak turun dari 900 ribu barel per hari menjadi 849 ribu barel per hari. Sedangkan target lifting gas turun dari 1.248 ribu barel per hari menjadi 1.177 ribu barel per hari.
Budiarso menegaskan pengurangan DBH dalam rancangan anggaran tidak berhubungan dengan naiknya anggaran dana alokasi khusus (DAK) yang ter catat meningkat sebesar Rp 20 triliun menjadi Rp 55 triliun. Kenaikan DAK, menurut dia, merupakan niat dasar pemerintah terkait dengan perwujudan visi dan misi pemerintah saat ini.
"Hal ini tidak ada kaitannya dengan kenaikan pagu DAK. Ini lebih dikarenakan sebagai upaya mendukung pencapaian program kabinet kerja yang belum tertampung dalam APBN 2015," ujarnya.
Tambahan pagu DAK tersebut rencananya akan dialokasikan untuk bidang irigasi sebesar Rp 9,3 triliun, bidang pertanian sebesat Rp 4 triliun, bidang kesehatan untuk RS layanan rujukan sebesar Rp 1,5 triliun, bidang infrastruktur jalan dan konektivitas sebesar Rp 5 triliun, serta pasar rakyat sebesar Rp 250 miliar.
Dalam RAPBN-P 2015, dana bagi hasil berkurang menjadi Rp 112,6 triliun, dari yang sudah ditetapkan dalam UU APBN 2015 sebesar Rp 127,7 triliun. Sedangkan DAK naik menjadi Rp 55,8 dari besaran sebelumnya yang mencapai Rp 35,6 triliun.
DBH migas mendapat pengurangan paling besar, mencapai 47,5 persen. Sebelumnya DBH migas ditetapkan sebesar Rp 51,82 triliun, sedangkan pemerintah saat ini mengusulkan hanya Rp 27,19 triliun.
Pemerintah beralasan perubahan alokasi DBH ini karena perkembangan asumsi dasar makro saat ini. Beberapa komponen DBH yang mengalami penurunan dalam RAPBNP tahun 2015 adalah DBH PPh Pasal 25/29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri, DBH pajak pumi dan pangunan, DBH minyak bumi, dan DBH gas bumi. Namun, ada juga komponen DBH yang mengalami peningkatan, yakni DBH pasal 21, DBH cukai tembakau, dan DBH pertambangan.
Langkah pemerintah mengusulkan pengurangan DBH ini bertentangan dengan tuntutan beberapa pemerintah daerah. Salah satunya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang merasa pembagian DBH selama ini tidak adil.
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad menyayangkan langkah pemerintah mengurangi alokasi dana bagi hasil (DBH) dalam anggaran perubahan 2015. Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa melihat keluhan daerah yang tentu memiliki kesulitan sendiri dalam proses pembangunan.
"Kalau bisa disesuaikan dengan permintaan mereka," ujarnya.
Menurut dia, DPR akan mendesak pemerintah agar lebih realistis terkait pengaturan anggaran tersebut. Dalam waktu dekat Komisi XI berencana memanggil pemerintah pusat dan pemda Kaltim untuk membahas persoalan tersebut.
Salah satu pos anggaran lain yang menjadi perhatian Komisi XI adalah anggaran Otonomi Khusus (Otsus) yang diusulkan naik Rp 500 miliar menjadi Rp 17,1 triliun. Alasannya pemerintah berencana mengalokasikan DAK untuk sektor prioritas seperti infrastruktur pertanian, perdagangan, transportasi dan kesehatan, yang menjadi kewenangan daerah.***