UU PPP Disahkan, Buruh Kembali akan Demo Besar-besaran
RIAUMANDIRI.CO - Serikat buruh menolak pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Rencananya, kelompok buruh akan menggelar aksi demonstrasi pada 8 Juni 2022.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, aksi ini akan diikuti oleh berbagai serikat buruh. Mulai dari KSPI, KSPSI, KPBI, FSPMI, KSBSI, SPI, ASPEK Indonesia, hingga FSP ISI.
Iqbal menilai pengesahan ini bukan sebagai kebutuhan hukum. Ia menuding pemerintah melakukan ini hanya untuk memuluskan pembahasan UU Cipta Kerja sesegera mungkin.
Atas hal ini, ia menyebut akan menggelar aksi besar-besaran pada 8 Juni 2022 DPR RI. Langkah ini akan diikuti gelombang aksi serempak di daerah.
"Melakukan aksi besar-besaran pada tanggal 8 Juni 2022 yang melibatkan puluhan ribu buruh di DPR RI. Dan secara bersamaan aksi dilakukan serempak di puluhan kota industri lainnya yang dipusatkan di Kantor Gubernur," kata dia mengutip keterangannya, Rabu (25/5/2022).
Selanjutnya, kelompok buruh akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Mei 2022 tentang revisi UU PPP tersebut.
Lalu, ia mengajak seluruh komponen buruh dan klas pekerja lainnya untuk melakukan aksi besar-besaran 3 hari berturut-turut. Tujuannya menolak dibahasnya kembali omnibus law UU Cipta kerja yang tanggal aksinya akan ditentukan kemudian.
Informasi, DPR RI mengesahkan UU PPP sebalai salah satu syarat untuk bisa melanjutkan pembahasan UU Cipta Kerja. Diketahui, revisi UU Cipta Kerja perlu diubah dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun.
Alasan Buruh Menolak
Setidaknya ada dua alasan mengapa Partai Buruh dan Serikat Buruh menolak revisi UU PPP. Pertama, dari sisi pembahasan di Baleg DPR RI, revisi UU PPP tersebut bersifat kejar tayang.
“Menurut informasi yang kami terima, revisi UU PPP hanya dibahas selama 10 hari Baleg DPR RI,” kata Said Iqbal.
Padahal UU PPP adalah ruh untuk membuat sebuah produk undang-undang (syarat formil) di Indonesia sesuai perintah UUD 1945.
“Kalaulah revisinya dikebut bersifat kejar tayang, bisa disimpulkan jika isi revisi sangat bermuatan kepentingan sesaat. Tidak melibatkan publik yang meluas dan syarat kepentingan dari kelompok tertentu,” ujarnya.
Alasan kedua, dari sisi revisi UU PPP tersebut, PartaI buruh dan elemen serikat pekerja ada tiga hal prinsip yang berbahaya bagi publik. Khususnya bagi buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, lingkungan hidup, dan HAM.
Pertama, revisi UU PPP hanya untuk sekedar memasukkan omnibus law sebagai sebuah sistem pembentukan undang-undang. Padahal omnibus law UU Cipta Kerja ini ditolak oleh seluruh kalangan masyarakat termasuk buruh.
Kedua, dalam proses pembentukan undang-undang tidak melibatkan partisipasi publik secara luas karena cukup dengan dibahas di kalangan kampus tanpa melibatkan partisipasi publik, maka sebagai undang-undang sudah dapat disahkan.
"Ketiga, yang lebih berbahaya adalah, dalam revisi UU PPP ini diduga memungkinkan dua kali tujuh hari sebuah produk undang-undang yang sudah diketuk di sidang paripurna DPR dapat berubah," tukasnya.