RIAUMANDIRI.CO - Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapore (MABIMS) mengeluarkan kriteria imkan rukyat yang baru dalam menetapkan awal Ramdan, Syawal dan Zulhijah.
Secara konseptual, Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) Arwin Juli Butar-butar menilai imkan rukyat dengan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4) lebih baik dari imkan rukyat yang lama dengan ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi bulan-matahari 3 derajat, dan umur bulan paska konjungsi 8 jam (2-3-8).
Meski demikian, Arwin mengatakan bahwa secara implementatif, khususnya dalam konteks Indonesia, kriteria baru ini pada masa akan datang diprediksi akan menghadapi tantangan implementasi di lapangan.
"Tantangan dan problem kriteria MABIMS 3-6,4 itu adalah karena belum definitifnya rumusan toposentrik-geosentrik atas ketinggian dan sudut elongasi bulan, dimana perbedaan penerapan keduanya berkonsekuensi pada perbedaan angka paramter yang dihasilkan," kata Arwin dikutip dari Muhammadiyah.or.id, Ahad (1/5/2022).
Tantangan berikutnya adalah pada marjak visibilitas hilal yang menimbulkan ‘tafsir’ dari para ahli dan para penggunanya. Terkait marjak (visibilitas hilal pertama kali muncul), timbul pertanyaan apakah visibilitas pertama hilal itu dimulai dari ujung Barat ataukah dari ujung Timur negara-negara MABIMS? ataukah berdasarkan visibilitas hilal (marjak) yang muncul di negara masing-masing MABIMS? Ataukah dimana saja di kawasan MABIMS?
“Dalam praktiknya, jika marjak itu ditetapkan di salah satu titik (ujung Barat maupun ujung Timur) maka akan ada keengganan dari negara pengguna yang di negaranya tidak memenuhi kriteria tersebut," terang Arwin.
Sebaliknya, jika penerapan marjak dikembalikan kepada praktik di teritorial negara masing-masing maka konsekuensinya rumusan 3-6,4 itu tidak memiliki urgensi unfikasi dalam tingkat MABIMS, sebab pada akhirnya kembali kepada pengguna masing-masing, dan berjalan masing-masing.
Karena itu, tidak definitifnya kriteria ini secara konsep maupun implementasi membuktikan bahwa putusan 3-6,4 itu tidak dirumuskan secara mapan lagi matang oleh perumusnya, dan tampak tanpa uji dan implementasi lapangan yang memadai. Hal ini, ujar Arwin, menimbulkan pertanyaan serius apakah konsep ini sesungguhnya dirumuskan secara bersama ataukah hanya segelintir orang saja?
Misalnya, secara astronomis posisi hilal awal Syawal 1443 H tahun ini tampaknya ‘unik’ dan ‘rumit’ jika dikaitkan dengan parameter sudut elongasi 6,4 derajat. Sebab secara hisab parameter ini hanya terpenuhi di ujung Sumatera (Sabang), itupun dengan asumsi elongasi geosentrik, bukan toposentrik, jika dengan elongasi toposentrik maka dipastikan belum memenuhi 6,4 derajat.
Tantangan lain adalah terkait pengalaman rukyat di Indonesia yang dalam praktiknya hilal dengan posisi minimal 2 derajat kerap ‘teramati’ dan ada yang melaporkan melihat dan kerap pula diterima dengan alasan perukyat sudah disumpah yang selanjutnya dianggap sebagai hilal ‘syar’i’. Penegasan hilal ‘syar’i’ itu juga kerap diakomodasi dan dibenarkan oleh segelintir tokoh dan pakar astronomi.
“Dari problematika ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa penyatuan awal Ramadan-Syawal dalam sepanjang sejarah ternyata bukan semata soal kesepakatan kriteria, namun juga adalah soal kemapanan dan kematangan kriteria itu sendiri. Bahkan dalam konteks yang lebih substantif, hal yang terlebih penting sesungguhnya adalah manusianya, bukan kriterianya, karena manusianyalah yang akan menerima dan menerapkannya,” ujar Arwin.
Dari fenomena dan pengalaman yang berkembang juga tampak bahwa yang risau dan bingung, dan berikutnya yang membuat bingung di tengah masyarakat sesungguhnya bukan semata masyarakat (orang awam), namun juga para ahli yang mengerti dan menggeluti masalah ini. Itu diantaranya ditunjukkan dengan ketidak definitifan konsep 3-6,4 tersebut.
Oleh karena itu pula, stigma dan statemen ‘masyarakat bingung’ akan perbedaan penentuan awal bulan sebenarnya bukan semata karena ketidakmengertian masyarakat akan substansi permasalahan, namun juga karena dinamika dan rumusan ilmiah para ahli yang menggeluti masalah ini yang belum final.
“Jika patut untuk disebut para ahli yang dimaksud adalah tokoh-tokoh dan pakar-pakar yang tergabung dalam Tim Unifikasi Kalender Hijriah (Tim UKH) Kementerian Agama Republik Indonesia yang secara moral-intelektual dituntut dan ditugaskan untuk mengurus masalah ini, dengan biaya Negara,” tegas Arwin.
Arwin berharap ke depan, keterwakilan Tim UKH diseleksi secara adil dan berimbang, tidak didominasi pihak tertentu betapapun dengan institusi berbeda namun sesungguhnya berasal dari pihak yang sama. Ini penting diindahkan di negara demokrasi Indonesia, yang jika tidak diindahkan maka dinamika dan perbedaan akan terus ‘abadi’, dan itu pertanda peradaban masyarakat dan bangsa ini masih rendah dan tidak beranjak kemana-mana. (*)