RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Marsudi Syuhud menegaskan, aktivitas demo sebagai bentuk kritik. Aksi demo yang dilakukan oleh siapapun harus bersifat atau bertujuan untuk membangun.
“Kritik yang membangun adalah Annaqdu Laisa Al Khidqu. Kritik adalah untuk memperbaiki, bukan untuk membenci,“ tegas Marsudi Syuhud dari laman MUI, Selasa (12/4/2022).
Dalam argumennya, Kiai Marsudi mengutip kisah salah satu khalifah, yakni Sayyidina Abu Bakar Shidiq. Setelah diangkat menjadi khalifah, Sayyidina Abu Bakar Shidiq membuka ruang untuk dikritik.
“Saat menjadi khalifah, dalam pidato pertamanya Sayyidina Abu Bakar menyampaikan, 'Wahai manusia, sungguh aku telah didaulat sebagai pemimpin atas kalian, akan tetapi aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian, bila aku membuat kebijakan yang baik, maka dukunglah aku, jika aku bersikap buruk (tidak sesuai aturan /Undang Undang) maka luruskanlah aku, ” ujar Marsudi mengutip kisah kepemimpinan khalifah Sayyidina Abu Bakar Shidiq.
Ditegaskan, kritik dan demo dalam sebuah negara Indonesia yang bersistem demokrasi merupakan hal yang sangat wajar. Namun demikian, dalam konteks kritik dan demo adalah untuk membangun dan untuk memakmurkan, bukan kritik dan demo yang menghancurkan dan merusak.
”Wukalluma Yad’u Lifasadi WA Ifsaadi, watakhriibi walqotli, yad’u ilaa ma yukholifu ddiin. Segala sesuatu yang menyerukan kerusakan, sabotase, dan pembunuhan itu bertentangan dengan agama,” ujarnya.
Dia menegaskan kritik yang dilakukan harus berifat membangun. Demonstrasi atau menyampaikan pendapat publik adalah bentuk amar ma’ruf.
Hal tersebut diatur dan dibolehkan dalam negara demokrasi. Dengan begitu, diharapkan pihak'pihak yang menanganinya tetap menjaga keamanan, kenyamanan, dan tetap berahlaqul karimah untuk kepentingan hidup bersama.