Retua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa mengambil pelajaran dari Sri Lanka, Pakistan dan Peru yang pemerintahannya mengalami krisis akibat tidak mampu menghadapi ketidakpastian situasi global saat ini.
"Krisis itu datang dengan karakternya sendiri, tidak bisa dikendalikan dan direncanakan. Tiba-tiba kita mendengar ada mosi tidak percaya di Pakistan, kemudian di Sri Lanka terjadi krisis pangan dan politik, di Peru pun demikian. Jadi inilah kita-kira yang akan kita hadapi sekarang," kata Anis Matta acara buka puasa bersama dengan sejumlah tokoh ICMI dan Kahmi di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022) petang.
Dalam buka puasa yang digelar di kediaman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri di bilangan Padjadjaran, Bogor ini Anis Matta mengatakan, krisis pemerintahan di tiga negara tersebut, akibat para pemimpinnya mengalami kebingungan dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dalam menghadapi krisis berlarut saat ini.
"Soal minyak goreng dan kenaikan harga BBM ini, hanya pemicu kecil saja, tapi bertahun-tahun ke depan kita akan menghadapi situasi yang jauh lebih sulit daripada yang sekarang," ungkap Anis Matta.
Sebagai negara dengan populasi besar, menurut Anis Matta, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman disintegrasi, apalagi Indonesia memiliki kelemahan dalam masalah ketahanan pangan. Bukan mustahil Indonesia menjadi korban berikutnya.
"Karena itu, yang harus kita lakukan pertama, mengubah tantangan ini menjadi peluang. Kedua menyatukan elite sekarang, keluar dari polarisasi, karena mematikan politik dan berbahaya buat negara," katanya.
Anis Matta menilai saat ini diperlukan satu gerakan pemikiran baru dari kelompok intelektual di luar partai politik (parpol) yang ada sekarang. Pergulatan intelektual baru tersebut diharapkan mampu mewujudkan cita-cita besar Indonesia.
"Tahapan sejarah Indonesia sudah memasuki gelombang ketiga, yaitu menjadi bagian dari kepemimpinan dunia, terlibat dalam pembentukan aliansi-aliansi global baru," katanya.
"Bisakah kita mempelopori satu ide lompatan masuk ke gelombang ketiga Indonesia menjadi negara modern yang kuat," lanjutnya.
Ia menegaskan, persepsi tentang politik saat ini perlu diubah, bukan sekadar jalur pendek menuju kekuasaan, tapi sebagai medan pergolakan pemikiran.
Yakni mengembalikan politik ke jalur yang benar sebagai industri pemikiran, sehingga bisa membuat kebijakan yang akan mempengaruhi orang banyak. Oleh sebab itu, intelektual itu harus berada di dalam politik, karena akan memperkaya politik.
"Tradisi transisi menuju Indonesia adalah pergolakan pemikiran dari kelompok pergerakan nasional. Waktu itu mereka anggota partai isinya perdebatan semua, itu saja kerjaannya tiap hari sampai matang ide Indonesia. Tiba-tiba satu negara baru lahir,” jelas Anis.
Karena itu, Anis Matta berharap para elit sekarang memiliki mindset (pemikiran) tentang narasi dan cita-cita besar ke depan untuk Indonesia. Bukan sebaliknya, tidak punya harapan dan berpikir pendek dengan membangunkan patung untuk mengingat pemimpinnya di masa lalu.
"Makanya nabi kita, Muhammad SAW melarang umatnya untuk melukis wajahnya, karena yang abadi itu narasinya, bukan wajah atau patungnya. Sekaranglah peluang Indonesia untuk tampil secara global," tegasnya.
Sementara itu, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rokhmin Dahuri mengatakan, masyarakat dunia saat ini perlu mencari alternatif paradigma baru dalam pembangunan yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan, setelah kegagalan sistem kapitalisme.
"Dengan Pancasilanya, saya kira Indonesia mampu menjadi negara-bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat serta berperan aktif dan signifikan dalam menjaga perdamaian dunia sesuai nilai-nilai Pancasila. Pancasila akan menjadi role model, sebagai paradigma pembangunan ekonomi dunia adalah sebuah keniscayaan," kata Guru Besar Ilmu Kelautan IPB University ini.