RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty, meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar memberikan perhatian pada upaya pembinaan dulu daripada pemberian sanksi bagi pelaku UMKM yang belum memiliki izin edar Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Alasannya, pelaku UMKM masih menghadapi berbagai kesulitan akibat pandemi Covid-19, selain itu masih banyak pelaku UMKM khususnya yang bergerak pada usaha makanan dan minuman yang belum memahami bagaimana cara untuk memperoleh izin PIRT maupun BPOM.
“Saya usulkan tolong ditunda dulu pendekatan penegakan hukumatau pemberian sanksi seperti ini. Saya harap lebih ke pembinaan dan sosialisasi dulu. Percuma kan kita teriak-teriak setiap hari untuk menghidupkan UMKM khususnya yang memanfaatkan platform online ini tapi di sisi lain malah kita persulit. Apalagi kan untuk proses di BPOM itu tidak mudah, perlu proses dan biayanya,” ujar Evita Nursanty, Selasa (19/10/2021).
Usulan ini, bukan berarti dirinya tidak pro kepada upaya peningkatan mutu, kualitas, serta nutrisi makanan yang dijual namun, untuk mencapai tujuan ke arah sana butuh proses yang tidak mudah terutama bagi UMKM yang kemungkinan besar masih belum lama beralih profesi akibat berbagai faktor mungkin kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
“Pengurusan di BPOM itu butuh biaya dan proses. Begitu juga untuk PIRT misalnya kan itu tidak bisa sebulan dua bulan, harus dimulai dari proses sertifikasi dengan pelatihan dulu di Dinas Kesehatan, lalu proses lagi dengan pengajuan, hingga peninjauan lapangan. Tidak semua mengerti proses ini. lalu mereka makan apa selama proses itu?”tanya dia.
Hal itu disampaikannya Evita setelah menanggapi berita di sejumlah media terkait viral di Twitter seorang pelaku UMKM terancam dipenjara atau denda sebesar Rp 4 miliar gara-gara belum memiliki izin edar yakni PIRT dan BPOM.
Menurut Evita, perlu adanya penguatan dan sinkronisasi peraturan perundangan yang terkait dengan perizinan ini terutama menyangkut aturan main di pusat maupun di berbagai daerah terkait izin edar ini. Mana yang menjadi bagian PIRT mana yang harus dengan BPOM, termasuk standardisasi detail atau teknis kemasan, serta dukungan sertifikasi lain.
“Sebagai contoh produk kopi, ada yang mengurus PIRT membingungkan karena satu daerah meminta adanya sertifikasi khusus produk lokal misalnya Kopi Gayo, Kopi Toraja, kecuali kalau hanya sebut kopi saja tanpa menyebut nama kopi lokalnya.Repot sekali harus minta satu per satu keterangan dari orang lokal yang punya kopi. Ini contoh kecil saja, intinya bagaimana kita mengatur ini supaya jangan justru mempersulit tapi memberikan kemudahan,” sambung Evita.
Dia meyakini pelaku usaha UMKM akan mau mengikuti kebijakan wajib memiliki izin edar ini, karena mereka juga bagian dari kekuatan Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk nasional. Hanya saja, mereka masih memerlukan waktu, dan jika memungkinkan perlu didorong untuk lebih simple proses dan lebih murah biayanya sesusai dengan jenis produknya.
“Coba beri waktu bagi mereka dan lakukan sosialisasi yang masif mengenai kebijakan ini sehingga mereka dapat bersiap-siap,” tutupnya.