RIAUMANDIRI.CO - Maraknya pungutan liar (pungli) pengurusan SKGR di Provinsi Riau membuat banyak aparat pemerintah harus berurusan dengan penegak hukum.
Seperti pengungkapan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Polres Siak di Desa Perawang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak beberapa bulan yang lalu.
Dari hasil OTT di Desa Perawang Barat tersebut, salah seorang staf di sana menjadi terdakwa di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, sementara orang nomor satu di Desa tersebut hanya berstatus saksi.
Menaggapi hal tersebut, pakar hukum pidana Universitas Riau (UNRI), Erdianto Effendi mengatakan, proses penuntutan itu berdasarkan penyidikan, bisa jadi pada saat penyidikan pihak kepolisian belum menemukan alat bukti yang kuat untuk menetapkan kepala desa menjadi tersangka.
Kendati demikian, kata Erdianto melanjutkan, di persidangan keterangan saksi-saksi akan menjadi fakata persidangan. Apabila dari keterangan saksi ada aliran dana bermuara kepada kepala desa, hakim nantinya akan memerintahkan JPU.
“Bisa jadi nanti terpisah. Banyak kok kasus kasus seperti itu," ujar Erdianto.
Selain itu, Erdianto bilang, apabila ada pihak-pihak tertentu yang melindungi, masyarakat harus bersuara.
"Dengan bersuaranya masyarakat, khususnya melalui media, maka kasus tersebut harus diungkap, agar hal serupa tidak terulang kembali di kemudian hari," bebernya.
"Ini tidak ada cerita, jangan sampai ada diskriminasi. Saya atas nama masyarakat menyuarakan agar kasus ini ditegakkan, jangan ada pandang bulu," kata dia lagi.
Lebih jauh Erdianto mengatakan, untuk kasus SKGR ini tidak hanya ada di Provinsi Riau, namun di daerah lain juga ada tapi dengan sebutan yang berbeda.
Erdianto berharap ke depan Pemerintah harus membuat dasar hukum penerbitan SKGR, karena dengan adanya dasar hukum pembuatan SKGR nantinya, biaya pengurusan SKGR tidak termasuk pungli lagi.
"Sepanjang ada kesepakatan dan tidak adanya paksaan itukan legal, dan para pihak tidak ada yang merasa dirugikan," tandasnya.