RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Hingga kini belum ada titik temu antara fraksi-fraksi di Komisi II DPR dengan pemerintah terkait hari pencoblosan Pemilu 2024. KPU menjadwalkan tanggal 21 Februari dan pemerintah menginginkan pada 15 Mei.
Sedangkan fraksi-fraksi di Komisi II DPR belum sepakat dengan kedua jadwal tersebut. Ada yang mendukung yang diagendakan KPU dan ada pula yang mendukung pemerintah. Namun ada pula fraksi mengambil jalan tengah.
Sedangkan Fraksi PKB mengusulkan hari pencoblosan Pemilu 2024 dilakukan sebelum bulan Ramadan. Alasannya, suhu politik yang panas pada pemilu bisa diturunkan di saat bulan Ramadan dan Idulfitri.
“Kita berharap suhu politik yang tinggi saat pemilu bisa dibantu mendinginkannya di saat bulan Ramadan dan Idulfitri. Tadinya saling maki bisa bersalaman ulang. Tadinya beda pendapat, dalam suasana bulan Ramadan bisa saling mencair,” kata anggota Komisi II dari PKB Yanuar Prihatin dalam diskusi bertema "Pemilu Serentak 2024: Ujian Demokrasi?" di Media Center DPR, Kamis (7/10/2021).
Tetapi kalau pemilu dilaksanakan setelah Ramadan, kata Yanuar, tidak punya lagi mekanisme sosial kultural yang alami untuk mendinginkan suasana panas yang muncul dari pelaksanaan pmilu.
Namun yang lebih penting lagi menurut Yanuar, pelaksanaan pemilu tersebut jangan sampai mengganggu kegiatan spiritualitas masyarakat selama bulan Ramadan yang dilanjutkan dengan Idulfitri.
Tidak kalah penting diingatkan Yanuar adalah memegang kesepakatan sejak awal antara Komisi II dan pemerintah, yaitu tidak merubah aturan main. “Artinya undang-undang, regulasi yang terkait tidak kita ubah. Itu kita sepakati bersama,” ujar Yanuar.
Yanuar juga menekan, bagaimana menjamin fair play dalam pelaksanaan pemilu. Karena selama ini ada indikasi money politik dan manipulasi suara yang hampir berulang setiap pemilu atau pilkada.
Anggota Komisi II DPR dari Demokrat Anwar Hafid menegaskan bahwa partainya selalu memegang prinsip konstitusionalitas dalam pelaksanaan pemilu. Seluruh tahapan Pemilu 2024 harus sesuai dengan konstitusi.
“Kita sudah sepakat bersama-sama tidak ada revisi regulasi. Maka seluruh penyelenggaraan Pemilu 2024 harus berdasarkan di undang-undang itu. Itu yang pertama. Kedua, tentu kita menjunjung tinggi azas kemanusiaan. Kita punya pengalaman Pemilu 2019 yang mencederai demokrasi karena adanya petugas-petugas yang gugur dalam menyelenggarakan pemilu,” kata Anwar.
Oleh karena itu, dua prinsip inilah yang selalu kami pegang sehingga, ketika kita melakukan upaya komisi II ini sama-sama dengan sahabat saya beliau, kami paling tidak, kalau biasanya RDP itu cukup sekali, itu sudah bisa ditentukan, tapi kali ini RDP karena sesuai dengan amanah undang-undang pemilu, bahwa hari H, pemilu itu ditetapkan dengan keputusan KPU, setelah berkonsultasi dengan DPR, wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah, inilah aturan konststitusional yang kita pegang.
Terkait belum adanya titik temu hari pencoblosan, Demokrat menginginkannya sebelum Ramadah atau setelah Idulfitri. Fraksi Demokrat mendukung jadwal yang diagendakan KPU tanggal 21 Februari karena KPU akan menghadapi tugas besar lainnya, pilkada serentak yang hampir di semua provinsi pada bulan November.
Agar irisan-irisan tahapan-tahapan pilkada dan pemilu tidak berada pada posisi pada tahapan krusial. Kalau beririsan dengan tahapan yang biasa-biasa tidak masalah. Tetapi ketika berhadapan dan beririsan dengan tahapan-tahapan krusial, seperti penetapan hasil pemilu sangat berbahaya karena penyelenggara yang sama melaksanakan dua kegiatan.
Sebetulnya menurut Anwar, 21 Februari masih bisa kita geser. Kalau mau geser, Demokrat menawarkan jalan tengah. KPU maju sedikit dan pemerintah juga mundur. Dengan mengambil jalan tengah, bisa di bulan April, selesai lebaran boleh atau tidak sebelum Ramadan.
“Namun apapun juga, Fraksi Demokrat tentu sesuai dengan prinsip yang dianut asas konstitusionalitas bahwa KPU lah yang paling paham, soal tahapan. KPU sudah percaya dan mereka punya jaringan sampai di tingkat bawah. Mereka membuat desain itu sudah berdasar informasi dari bawah,” kata Anwar.
Fadli Ramadhanil dari Perludem menyebutkan titik soalnya dalam Pemilu 2024 adalah ketika pilihan politik tidak jadi merevisi UU Pemilu. Ini membawa dampak kepada Pilkada.Ada beberapa hal yang menyebabkan kebuntuan, terutama di undang-undang Pilkada.
“Salah satunya adalah soal penjabat kepala daerah. Dalam UU Pilkada itu disebutkan karena Pilkada serentak nasional akan dilaksanakan di November tahun 2024, maka daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis di tahun 2022 dan 2023 akan diisi oleh penjabat.
Penjabat itu maksimal hanya boleh menduduki jabatan selama 2 tahun. Ada 217 daerah yang habis masa jabatan kepala daerah pada tahun 2022, termasuk DKI Jakarta, Banten, Aceh, Bangka Belitung. Untuk daerah yang habis masa jabatan di tahun 2022, penjabatnya akan mengisi jabatan kepala daerah lebih dari 2 tahun.
“Saya sepakat, mestinya simulasi soal beban kerja ini memang teman-teman KPU yang paling bisa menggambarkan dan mengetahui itu. Kalau pemungutan suara pada bulan Mei, idealnya pilkadanya tidak di November 2024. Kenapa tidak kemudian pilkada itu dilakukan lagi satu kali transisi, sesuai dengan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya habis saat ini. Misalnya untuk daerah yang habis di masa jabatan pada 2022 dan 2023 bisa digabung pilkada nya di pertengahan 2023,” usulnya.