RIAUMANDIRI.CO - Belakangan berbagai tempat di Indonesia kembali rutin memutar film G30S/PKI setiap 30 September. Hal itu dianggap bentuk menjaga jiwa nasionalisme dan mengingat sejarah pembunuhan para jenderal pada konflik bersejarah 1965.
Namun, kebiasaan tersebut terus dikritik berbagai pihak. Mulai dengan cara melakukan penelitian yang membuktikan bahwa banyak kekeliruan fakta pada film G30S/PKI, hingga memutar film-film yang bernuansa tandingan seperti film Jagal dan Senyap.
Pengamat Publik sekaligus Dosen Pascasarjana Sosiologi Fisip UNRI, Rawa El Amady menganggap kebiasaan menonton G30S/PKI tiap tahun perlu dihentikan.
Sebab, ia menganggap film tersebut sarat kepentingan dan penyimpangan. Baik substansi, maupun fakta sejarah di dalamnya.
"Film yang buat pada masa rezim orde baru yang otoriter sudah dipastikan sangat kuat kepentingannya. Meskipun pada kenyataanya kekerasan dan kekejaman PKI memang sudah ada sejak 1948 hingga 1965," ujarnya, Kamis (30/9/2021).
"Menurut saya film itu perlu ditukar, sebab film G30S/PKI itu dibuat di era rezim yang mengkudeta pemerintahan yang sah melalui kudeta komunis," tambahnya.
Rawa menjelaskan, dokumentasi yang dibuka di kedutaan Amerika Serikat menyingkap bahwa sangat besar keterlibatan mereka (AS) pada peristiwa G30S.
Apalagi, katanya, pada masa itu masih terjadi perang dingin antara blok barat yang dimotori AS dengan blok timur yang dimotori Uni Soviet.
"Jadi sudah pasti film itu (G30S/PKI) hanya menuangkan fakta yang terjadi, tetapi tidak mengungkapkan subtansi. Jadi saya setuju perlu dibuat film yang lebih independen setelah rezim orba berakhir dan perang blok barat dan blok timur berakhir," ungkapnya.
Sementara, terkait stigma terhadap para aktor PKI dan keturunannya menurut Rawa ada sebuah kekeliruan. Sebab, para korban peristiwa G30S tidak pernah benar-benar diadili.
"Ada masalah dengan penyebutan masyarkat yang terlibat dengan komunis itu, karena banyak masyarakat yang menjadi korban tanpa pengadilan. Jadi memastikan yang menjadi korban itu benar-benar komunis, adalah sebuah kedilemaan tersendiri," katanya.
Rawa berharap, warga negara harus mendapat informasi yang tidak hanya dari satu sumber saja.
Menurutnya, komunisme secara idiologi memang harus ditolak. Namun, terhadap korban pada peristiwa G30S harus dilihat tidak hanya dari informasi yang diciptakan rezim orde baru saja.
"Jadi perlu riset yang objektif untuk melihat hal tersebut," tutupnya.