RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta mengatakan, Indonesia saat ini sedang menghadapi bahaya besar tanpa disadari oleh pemerintah, karena berada di tengah pertarungan supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China.
"Perang dingin lalu, kita punya tragedi berdarah di sini, namanya G30S PKI. Ini menujukkan Indonesia menjadi target collateral damage, jangan sampai sekarang pun kita menjadi collateral damage," kata Anis Matta dalam diskusi Gelora Talk bertajuk 'Perang Supremasi Amerika Vs China, Akankah Meledak di Laut China Selatan?, Rabu (22/9/2021) petang.
Berdasarkan kondisi ini, Partai Gelora mengingatkan kepada pemerintah untuk lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi konflik tersebut, karena bisa punya implikasi besar terhadap Indonesia.
Isu tersebut, lanjut Anis Matta, merupakan isu strategis yang berhubungan dengan eksistensi Indonesia sebagai bangsa. Dengan mengangkat secara terus menerus itu tersebut, diharapkan menjadi medium penyadaran kepada pemerintah dan masyarakat.
"Kita ingin menyalakan sirene sebenarnya, peringatan kepada masyarakat kita, kepada pemerintah kita, bahwa sekarang kita perlu sangat berhati-hati dan perlu waspada," katanya.
Indonesia, kata Anis Matta, harus pandai melihat perang supremasi antara AS dan China dari skenarionya, bukan drama yang terjadi. Menurut Anis, Indonesia mesti bisa membacanya dan menempatkan skenario tersendiri.
"Jangan lihat dramanya tapi skenarionya dan begitu kita melihat skenarionya kita mesti menempatkan pada skenario kita sendiri," katanya.
Namun, Indonesia tidak mempunyai skenario, sehingga menjadi persoalan. Akibatnya, kebijakan luar negeri yang diambil Indonesia terputus-putus, tidak terintegrasi. Lebih merupakan kebijakan yang reaktif atau tidak menjadi bagian dari satu rencana jangka panjang.
Anis Matta menegaskan, dalam pertarungan antara 'elang' dan 'naga' Indonesia memerlukan skenario jangka panjang dengan melihat skenario kekuatan AS dan China. kemudian Indonesia mencari celah untuk kepentingan nasional kita.
Dalam babak sejarah Indonesia yang baru, kata Anis, diperlukan satu arah. Arah baru tersebut akan mengajak kepada satu cita-cita dan satu imajinasi. Di tengah krisis global saat ini, menurutnya, ada dua celah, yaitu menjadi korban dan mendapatkan manfaat.
"Jadi, sudah saatnya kita membuat terjemahan baru yang lebih imajiner terhadap makna konstitusi kita. Makna (politik luar negeri) bebas aktif, tapi kita juga harus ikut dalam pelaksanakan ketertiban dunia. Ini maksudnya menjadi kekuatan kelima dunia," demikian kata Anis.
Perang supremasi ini, ungkap Anis Matta, akan melahirkan kepemimpian baru dan aturan global baru ke depan. Sehingga Indonesia harus memahami filosofi dari perang supremasi antara AS-China.
"Sebaiknya kita mesti paham dari filosofinya, kalau kita tidak duduk di meja makan, kita tidak akan pernah ikut makan," kata Anis Matta.
Diskusi ini dihadiri Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Pengamat Militer dan Pertahanan Keamanan Connie Rahakundini Bakrie, serta mantan Kepala BAIS TNI Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto.
Hikmahanto Juwana mengatakan, AS ingin mengamankan kepentinganya di Indo-Pasifik agar tidak didominasi. AS, kata dia, tidak ingin melihat Indonesia jatuh ke tangan China.
"Amerika Serikat akan mendekati negara-negara mana saja yang berhadapan dengan China, termasuk Indonesia. Kita akan mendapatkan banyak tawaran, dan tawaran itu bisa diambil sepanjang untuk kepentingan nasional kita," kata Hikmahanto.
Sedangkan Connie Rahakundini Bakrie menilai perang di LCS bisa saja terjadi. Namun bahaya sebenarnya, adalah upaya pembukaan paksa Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) di Timur dan Barat oleh AUKUS (Amerika Serikat, Inggris dan Australia).
"Kalau ALKI Timur Barat dibuka, maka seolah-olah tamu yang melintas rumah kita, kita tidak punya kemampuan dan ketegasan menjaga martabat kepentingan kita," kata Connie
Ia mengungkapkan, dari dokumen AUKUS yang dia baca, kebijakan AUKUS yang berdampak negatif terhadap Indonesia, tidak hanya masalah nuklir saja, tapi juga akan mendikte kerjasama cyber, antariksa, intelejen dan lain sebagainya.
Menurut dia, dampak negatif tersebut, akibat posisi non blok Indonesia saat ini, sehingga membuat Indonesia sekarang 'terkepung'. Padahal non blok itu, yang dimaksud Bung Karno, bukan bersikap netral, tapi harus bersikap tegas untuk melindungi kepentingan nasional.
"Saya tertarik dengan pernyataan pembukaan Pak Anis Matta, langit kita terlalu tinggi, tapi kita terbang terlalu rendah. Dan hari ini kita telah membayar itu, kita selalu menentukan terbang terlalu rendah, padahal langit kita tinggi. Akibatnya, AUKUS dibentuk, sementara posisinya kita non blok. Posisi negara kita saat ini dalam tanda kutip terkepung," tandasnya.
Sementara Soleman B Ponto mengatakan, sikap China dalam konflik di LCS, sebenarnya menguntungkan Indonesia, karena China memilih untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Hal itu menjadi kesepakatan antara ASEAN dengan China dalam pertemuan di Bali pada 2011 lalu. Sehingga sebagai salah satu negara ASEAN, mau tidak mau Indonesia harus mengikuti kesepakatan itu, begitupun halnya China.
"Jadi mau enggak mau Indonesia harus mengikuti ini, karena kita terikat di situ, itu sudah akan menyelesaikan secara damai," tutup Soleman.