RIAUMANDIRI.CO - Akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia, BMKG mengingatkan supaya masyarakat dan pemerintah daerah di wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, mewaspadai potensi skenario terburuk gempa dan tsunami setinggi 28 meter.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan, kesiapan dan kewaspadaan diperlukan untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir selatan Jawa, yang berpotensi menerjang dalam 29 menit.
"Berdasarkan hasil penelitian, wilayah Pantai Pacitan memiliki potensi tsunami setinggi 28 meter dengan estimasi waktu tiba sekitar 29 menit. Adapun tinggi genangan di darat berkisar sekitar 15-16 meter dengan potensi jarak genangan mencapai 4 - 6 kilometer dari bibir pantai," kata Dwikorita dalam keterangan pers seperti dikutip Antara.
Sebelumnya peringatan serupa juga sempat dituturkan Dwikorita pada Juli lalu. Saat itu dia memperingatkan ada potensi gempa bumi di atas Magnitudo 7 dan tsunami hingga 29 meter di pesisir selatan Jawa Timur.
Dwikorita menjelaskan kawasan wilayah pesisir Jatim berpotensi tersapu tsunami dengan tinggi maksimum 26 meter sampai 29 meter di Kabupaten Trenggalek. Sementara waktu tiba tercepat 20-24 menit di Kabupaten Blitar.
Selain itu, Dwikorita bersama Menteri Sosial, Tri Rismaharini, dan Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji, melakukan verifikasi zona bahaya dan menyusuri jalur evakuasi bencana, dalam simulasi menghadapi potensi bencana.
Dwikorita menyebut dengan skenario itu masyarakat yang berada di zona bahaya perlu berlatih rutin melakukan evakuasi mandiri bila mendapatkan Peringatan Dini Tsunami, maksimum 5 menit setelah gempa terjadi.
Penduduk yang khususnya berada di wilayah pesisir pantai, kata Dwikorita, harus segera mengungsi ke daratan yang lebih tinggi, jika merasakan guncangan gempa yang cukup besar.
"Untuk masyarakat yang berada di pantai, tidak perlu menunggu perintah, aba-aba, atau sirene, segera lari karena waktu yang dimiliki hanya sekitar 29 menit, sedangkan jarak tempat yang aman yang lebih tinggi cukup jauh," ujarnya.
Dwikorita mengatakan skenario itu berarti bencana tersebut masih bersifat potensi yang bisa terjadi atau tidak. Meski begitu, masyarakat dan pemerintah daerah harus sudah siap dengan skenario terburuk itu.
Menurut Dwikorita apabila masyarakat dan pemerintah daerah siap, maka jumlah korban jiwa maupun kerugian materi akibat bencana gempa dan tsunami dapat ditekan. Dengan skenario terburuk itu, kata Dwikorita, pemerintah daerah bersama-sama masyarakat bisa lebih maksimal mempersiapkan upaya mitigasi yang lebih komprehensif.
"Jika masyarakat terlatih maka tidak ada istilah gugup dan gagap saat bencana terjadi. Begitu gempa terjadi, baik masyarakat maupun pemerintah sudah tahu apa-apa saja yang harus dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas tersebut," kata Dwikorita.
Dwikorita menegaskan hingga saat ini tidak ada teknologi atau satu pun negara di dunia yang bisa memprediksi kapan terjadinya gempa dan tsunami secara tepat dan akurat, lengkap dengan perkiraan tanggal, jam, lokasi dan magnitudo gempa.
Menurutnya semua kemungkinan masih sebatas kajian yang didasari salah satunya lewat sejarah gempa di wilayah tersebut.
Di samping itu, BMKG menyarankan kepada pemerintah daerah untuk menyiapkan dan menambah jalur-jalur evakuasi yang dilengkapi rambu-rambu di zona merah menuju zona hijau.
Menurut BMKG mengingat luasnya zona bahaya (zona merah) dan padatnya pemukiman penduduk, maka pemerintah daerah harus lebih cermat dan tepat dalam memperhitungkan jumlah dan lokasi jalur evakuasi yang diperlukan.
BMKG menjelaskan yang menjadi pertimbangan dalam mitigasi adalah jarak lokasi tempat evakuasi, waktu datangnya gelombang tsunami, kelayakan jalur, serta menyiapkan mekanisme dan sarana prasarana evakuasi secara tepat.
Dwikorita menyarankan kepada pemerintah daerah untuk mempersiapkan secara khusus sarana serta prasarana evakuasi bagi kelompok lanjut usia (lansia) dan difabel.
Di samping itu dia mengatakan masyarakat juga harus terus diberi pemahaman mengenai potensi bencana dan cara menghadapinya.
"Saya rasa perlu juga disiapkan semacam Tempat Evakuasi Sementara (TES) ataupun Tempat Evakuasi Akhir (TEA) sebagai tempat penampungan khusus bagi warga yang mengungsi dengan ketersediaan stok/cadangan logistik yang memadai," ucap Dwikorita.