RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Dua orang warga menggugat Wali Kota, DPRD dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Pekanbaru ke Pengadilan Negeri setempat. Gugatan itu terkait pengelolaan sampah khususnya sampah plastik sekali pakai yang mengakibatkan kerugian terhadap mereka.
Dua orang penggugat tersebut yakni Riko Kurniawan dan Sri Wahyuni. Melalui 12 orang kuasa hukum dari Tim Advokasi Sapu Bersih akan mendaftarkan secara resmi gugatan ke PN Pekanbaru pada 16 September mendatang.
"Inisiatif gugatan ini merupakan bagian dari partisipasi masyarakat mendorong perbaikan kebijakan dan tindakan Pemerintah Kota Pekanbaru dalam pengelolaan sampah. PN Pekanbaru diharapkan mampu memberikan keadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup di Pekanbaru," ujar salah seorang penggugat, Riko Kurniawan, melalui siaran pers yang diterima Haluan Riau, Kamis (9/9).
Dalam gugatan tersebut, Tim Advokasi Sapu Bersih mendesak pemerintah menyusun langkah konkret pengurangan sampah plastik sesuai Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Yakni, dengan cara melarang, dan/atau membatasi produksinya, distribusinya, penjualannya, dan/atau pemakaiannya.
"Harus ada peraturan daerah khusus pembatasan plastik sekali pakai. Selain itu, Mahkamah Agung menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melarang plastik sekali pakai melalui Putusan MK Nomor 29 P/HUM/2019. Ini memberikan yurisprudensi penting sebagai amunisi hukum bagi advokasi ke kota/kabupaten lainnya," kata Andi Wijaya, Ketua Tim Advokasi Sapu Bersih.
Koalisi mencatat, sejak tahun 2016, 2017 dan 2021, masalah pengelolaan sampah terus terjadi. Pada Juni 2016, saat itu pengelolaan sampah dipegang oleh PT Multi Inti Guna (MIG) dan kepala dinas teknis saat itu dijabat oleh Edwin Supradana. Lalu timbul persoalan di PT MIG yang menunggak gaji pekerja. Ratusan pekerja mogok, hingga sampah menumpuk.
Masalah lain muncul dengan dicabutnya kontrak PT MIG dan jabatan kepala dinas teknis serta kepala bidang dinas teknis dicopot.
Pada 2017, saat itu ketersediaan armada yang kurang menjadi alasan tidak beresnya penanganan sampah di Kota Pekanbaru dan awal 2021, kali ini kontrak dua perusahaan habis dan lelang jasa pengangkutan sampah yang menjadi alasan terjadinya timbulan sampah selama tiga bulan.
"Wali Kota Pekanbaru gagal memberikan hak lingkungan yang bersih dan aman kepada masyarakat. Pemerintah tidak menjalankan aturan terkait pembatasan plastik sekali pakai, pemilahan sampah kering dan basah serta kurangnya sosialisasi secara menyeluruh, sehingga mengakibatkan timbulan sampah di tiap badan jalan yang bersumber dari industri dan rumah tangga," lanjut Andi Wijaya.
Dalam dokumen Rencana Strategis dan Rencana Kerja 2018 dan 2019, DLHK Kota Pekanbaru tidak optimal dalam mencapai target kinerja yang ditetapkan seperti capaian program, tolak ukur kinerja, sesuai dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang laporan hasil pemeriksaan kinerja pengelolaan sampah Kota Pekanbaru tahun 2018 dan 2019. Sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan sampah perkotaan pada DLHK Kota Pekanbaru dalam mewujudkan lingkungan perkotaan yang layak huni dan ramah lingkungan, belum tercapai.
"Wali Kota dan DLHK Kota Pekanbaru tidak melakukan kajian dan evaluasi terhadap pengelolaan sampah, sehingga pemerintah tidak punya data pasti terhadap capaian pengelolaan sampah tiap tahunnya. Mereka menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada pihak ketiga tanpa melakukan pengawasan lebih," sebut M Ragiel Ramadhan L selaku Ketua Ikatan Mahasiswa Teknik Lingkungan Indonesia (IMTLI) Regional 1 menambahkan.
Sampah kantong plastik juga bisa menyebabkan banjir, karena menyumbat saluran-saluran air. Selain itu jika dibakar, sampah plastik akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan. Yaitu, jika proses pembakarannya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai diloksin. Senyawa ini sangat berbahaya jika terhirup manusia.
Dampaknya akan memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi. "Pengelolaan sampah plastik sembarangan juga berakibat pada pencemaran air. Sehingga berdampak pada kesehatan ibu dan anak khususnya permukiman yang berdekatan dengan timbunan sampah plastik," imbuh Sri Wahyuni, salah seorang penggugat.