RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Pengusutan dugaan korupsi pembangunan Hotel Kuansing diyakini tidak berhenti pada tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Melainkan akan berkembang dengan menyasar tersangka lainnya.
Demikian diungkapkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kuantan Singingi (Kuansing) Hadiman, Senin (6/9). Dikatakan Hadiman, pihaknya telah menerbitkan surat perintah penyelidikan (sprinlid) baru terkait pengembangan perkara tersebut.
"Baru saya terbitkan hari Jumat (3/9) kemarin sprinlidnya," ujar Kajari Hadiman.
Menurut dia, hal tersebut membuktikan konsistensi pihaknya dalam menuntaskan secara menyeluruh dugaan penyimpangan pada salah satu Proyek 3 Pilar di Kota Jalur tersebut.
"Sebagaimana pernah kami sampaikan, setelah putusan soal korupsi ruang pertemuan Hotel Kuansing, maka akan menyasar pada bagian lain dari proyek hotel tersebut," kata Hadiman.
"Saat ini kita fokus berkaitan dengan pembangunan fisik Hotel Kuansing. Jika kemarin masih berkaitan dengan ruang pertemuan Hotel Kuansing," sambung dia.
Dengan adanya sprinlid baru itu, Jaksa selanjutnya akan menjadwalkan mengundang pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan.
Diketahui, sebelumnya Jaksa telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan rasuah pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing tahun anggaran 2015. Dua di antaranya telah dihadapkan ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dan dinyatakan bersalah.
Mereka adalah Fahruddin, mantan Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing. Dia dinyatakan bersalah dan dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Terdakwa lainnya, Alfion Hendra. Kepala Bidang (Kabid) Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas CKTR tahun 2015 lalu sekaligus Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada proyek bermasalah tersebut dihukum lebih rendah, yakni 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut Jaksa, tutusan majelis hakim lembaga peradilan tingkat pertama itu belum memenuhi tuntutan mereka yang menginginkan Fahruddin dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Alfion Hendra dituntut hukuman 6,5 tahun penjara, dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara.
Oleh Jaksa, keduanya dinilai bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini sebagaimana tertuang dakwaan primair JPU.
Selain itu, Jaksa juga tidak menerima penetapan besaran kerugian negara dalam putusan hakim sebesar Rp3,6 miliar. Karena menurut audit saksi ahli, kerugian negara mencapai Rp5,05 miliar. Atau hal tersebut, Jaksa mengajukan banding.
"Dua hal yang menjadi pertimbangan Jaksa mengajukan upaya hukum banding. Yakni, penerapan pasal serta perhitungan nilai kerugian negara dalam putusan hakim," kata Hadiman.
Dalam kasus ini, Kejari Kuansing juga telah menetapkan Robert Tambunan selaku Direktur PT Betania Prima yang merupakan kontraktor ruang pertemuan Hotel Kuansing sebagai tersangka. Namun, Robert telah meninggal dunia, kendati Jaksa sempat meminta agar kerugian negara sebesar Rp5,05 miliar dibebankan kepada mendiang Robert.
Kembali ke persoalan Hotel Kuansing, Hadiman menjelaskan, pembangunan proyek tersebut terbagi atas tiga pos anggaran. Yakni anggaran pengadaan lahan sebesar Rp12,5 miliar dan anggaran ruang pertemuan sebesar Rp12 miliar lebih. Untuk pembangunan fisik Hotel Kuansing menyerap dana sebesar Rp46 miliar.
Meski proyek telah selesai, namun hingga kini hotel tersebut tak bisa dioperasionalkan. Kondisi bangunan hotel memprihatinkan sehingga ada potensi kerugian negara yang terjadi dari proyek tersebut.
Pihaknya menduga proses pembangunan Hotel Kuansing juga tidak sesuai dengan ketentuan. Inilah yang menyebabkan hotel tersebut terkesan dibiarkan teronggok menjadi bangunan tua dan mengalami kerusakan di sana sini sejak selesai dibangun.
Dugaan pelanggaran ketentuan tersebut karena pembangunan Hotel Kuansing tidak didahului adanya pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pemerintah Daerah (Pemda) Kuansing baru membentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2015 tentang BUMD pada 25 November 2015, setelah pembangunan hotel selesai dilakukan. Pembangunan hotel tersebut semestinya melalui BUMD dalam bentuk penyertaan modal.
"Padahal sudah ada surat dari Menteri Dalam Negeri yang menegaskan pembangunan hotel baru bisa dilaksanakan jika BUMD sudah ada lebih dahulu. Sehingga, sebenarnya pembangunan belum bisa dilakukan sebelum adanya BUMD," terang Hadiman.
Perda Nomor 5 tahun 2015 tentang BUMD merupakan payung hukum pembentukan BUMD di lingkungan Pemda Kuansing, dalam Pasal 4 disebutkan BUMD yang akan didirikan yakni untuk mengelola pasar rakyat dan perhotelan. Namun, hingga kini BUMD yang dimaksud tak kunjung dibentuk.(Dod)