RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Tarif cukai rokok seharusnya mencapai 50 persen. Hal itu dikatakan oleh Ekonom senior, Faisal Basri.
Tarif yang ideal ini, katanya, akan efektif menekan konsumsi rokok dan menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia. Faisal menuturkan, kebijakan harga adalah hal yang paling utama dalam menurunkan prevalensi perokok aktif dan perokok muda.
"Harga adalah faktor utama dalam menentukan orang merokok atau tidak, kalau yang ekstrem naikkan 50 persen," kata Faisal dalam workshop Jurnalis AJI, Kamis (2/9/2021).
Faisal mengakui, kenaikan tarif cukai yang ekstrem tentu akan mendapat kritikan dan keberatan dari banyak pihak, terutama industri rokok. Bila pemerintah belum mampu menaikkan tarif cukai setinggi mungkin, setidaknya sesuaikan dengan roadmap yang sudah disusun, yakni sekitar 12,5 persen setiap tahun.
"Tapi kan enggak bakal lah (cukai naik sampai 50 persen). Yasudah sesuai dengan roadmap saja 12,5 persen. Setiap tahun tapi," beber dia.
Namun, menurut dia, kenaikan cukai saja tidak mampu menekan angka perokok jika tak diiringi dengan kenaikan harga jual.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah menaikkan harga jual rokok.
"Jadi intinya harga dibikin mahal, bisa lewat tarif cukai, plus lewat harga jualnya," pungkas Faisal.
Sebelumnya data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyebut, tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau tarif cukai rokok masih rendah dibanding negara lain, salah satunya Singapura.
Rendahnya tarif membuat tingkat konsumsi rokok di Tanah Air meninggi. Rendahnya tarif membuat WHO menyarankan Indonesia untuk menghapus batas pajak cukai maksimum dan menerapkan kenaikan berkala.
Berdasarkan UU Nomor 39/2017, tarif tertinggi cukai yang ditetapkan pemerintah hanya 57 persen dari harga jual eceran.